Two - The Breaker's Day

2.7K 220 16
                                    

"Apa? Kenapa harus aku? Kenapa harus membunuh Ale?"

Will mengeluarkan jarinya dan menunjuk ujung ruang penjara mereka. Dengan cahaya yang minim, Ellene melihat samar ada sebuah pintu berdiri di sana, tempat Ale menghilang dari pandangan mereka.

"Katamu kau ingin menemui Tuan Henry untuk kunjungan kerja, jadi kupikir besok Ale akan kembali kemari untuk menjemputmu. Di saat itulah, hanya kau yang bisa keluar dari penjara lewat pintu itu dan melihat lantai atas. Sayangnya, sejauh ini orang yang dibawa Ale menuju lantai atas akan kembali dikurung di sini karena ini adalah rumah para pendatang. Apa kau mau dikurung lagi jika kau bisa memilih untuk bebas?"

Ellene tanpa pikir panjang langsung menggeleng cepat, sehingga Will tersenyum lebih lebar. "Jika begitu, kau harus mencuri kunci penjara milik Ale, dengan cara membunuhnya."

"Aku tidak bisa! Ale tidak melakukan kesalahan apapun hingga aku harus membunuhnya!" tolak Ellene tidak menerima ucapan Will. "Apa tidak ada acara lain? Tidak bisakah kita meminta baik-baik pada Ale untuk membebaskan kita?"

Will mendengkus, dia membanting batu ke luar penjaranya kesal. "Jangan terlalu naif, Kak. Ale sudah membunuh para pembangkang dengan keji. Kau lihat tongkat besi yang selalu dia bawa bersamanya? Itulah senjata utamanya."

Membunuh, satu kata dari kamus kejam yang terdengar di telinga Ellene. "Ale ... membunuh mereka?"

"Alasan kenapa sekarang hanya kita yang tersisa di sini adalah Ale sudah membersihkan para penghuni lama, dengan ... membunuh mereka semua. Jika matamu jeli, kau bisa melihat deretan penjara di sisi penjaraku agak kotor karena ... darah."

Ellene menutup mulutnya, mendengarkan fakta mengerikan yang tak pernah terbayang di benaknya. Will telah mengatakan tentang betapa kelam masa lalu ruang penjara yang ia tempati, membuat gadis itu tidak berani melirik ke penjara lain selain milik Will dan Raven.

Gadis itu kembali menatap pisau lipat yang belum tersentuh. Dia tidak berniat untuk mengotori tangannya dengan darah, apalagi sampai membunuh orang. Namun, di sisi lain dia tidak ingin berlama-lama tinggal di penjara itu dalam bayang-bayang Ale ....

"A-aku tidak bisa ...." Ellene menunduk dalam. "Aku tidak yakin. Kalau aku gagal ... bukankah aku juga celaka? Aku masih ingin hidup ...."

"Aku akan membantumu," jawab Will tanpa keraguan. "Kita akan membuat rencana, bersama Raven juga. Hei tukang tidur! Bangun sekarang!"

Walau Will berseru cukup keras, Raven tak bergeming sedikit saja. Tidak yakin rencana yang akan dibuat akan baik-baik saja, Ellene menggeleng ragu pada Will. "Sepertinya Raven tidak ingin diganggu ...."

"Aku melemparimu batu untuk bangun bukan? Lakukan juga pada Raven!"

Will meminta hal itu seperti sedang melucu hingga Ellene menatap beberapa batu milik Will ada di dekatnya dengan ragu. Raven bisa membuatnya bergidik hanya dalam sekali lihat. Kalau Ellene sampai menganggu waktu tidurnya bahkan di saat penting seperti ini, bisa saja Raven mengutuknya seumur hidup.

"Ayolah, Kak Ellene! Raven tidak akan memarahimu!"

Jari lentik Ellene mengamit batu kecil dan menggenggamnya, kemudian meneguk ludah mengumpulkan nyali. Mau meleset atau tidak, aku tidak mau kena marah karena ini rencana Will, batin Ellene kemudian melempar batu itu ke penjara Raven.

Suara batu menghantam besi cukup keras, gadis itu menggigit bibir takut akan apa yang terjadi selanjutnya. Bayangan dari lelaki yang sedari tadi bersandar di dinding mulai bergerak, mendekati jeruji besi dan menunjukan wujudnya.

Kali ini wajah Raven terlihat penuh di mata Ellene. Satu iris topaz-nya tertutup poni panjang memberikan kesan muram. Wajah pucat itu tak memberikan emosi apapun, menunjukan sosok kosong nan dingin.

Ambrosia House [END] - TELAH TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang