Fourteen - The Princess

1.5K 174 9
                                    

"Kenapa dia ada di sini?"

Panik, satu tangan Charlie yang bebas memukul-mukul peti kaca di hadapan mereka tergesa-gesa. Ellene masih menutup mulutnya dengan tangan, tidak percaya jika seorang manusia ada di dalam peti itu.

"Tenanglah!" sentak Raven tidak tahan melihat suasana panik itu, pada akhirnya tangannya mencengkram bahu anak kelinci itu kuat hingga membuat Charlie tersentak.

"B-bagaimana bisa aku tenang? Tuan Putri Alice terperangkap di sini!"

“Panik seperti itu tidak akan membantu apapun.” Raven mendekatkan senapannya ke arah peti berisi seorang gadis kecil di depan mata dan amesthyst yang tersemat di senapan Raven bersinar layaknya ketika mereka memghadapi sulur kegelapan. “Sepertinya kita perlu menghancurkan peti ini juga.”

“N-namun, ini peti kaca, Raven!" Charlie langsung menolak ide itu tanpa pikir panjang. "Kalau kita menghancurkannya begitu saja, Tuan Putri Alice akan terluka!”

“Tunggu!” Ellene menyela keributan mereka berdua sebelum emosi semakin naik. “Coba lihatlah dulu, Charlie. Kaca biasa tidak akan membuat Shadow Hunter bersinar begitu saja. Sepertinya kaca ini juga terbuat dari kegelapan yang bisa membuat Shadow Hunter aktif, jadi menghancurkannya kupikir tidak apa.”

Charlie menggigit bibir bawahnya, mengkhawatirkan hal terburuk jika benda di hadapannya dihancurkan hingga melukai gadis kecil yang menjadi sosok penting sekarang. Ellene meyakinkannya sekali bahwa semuanya akan baik-baik saja, Charlie tidak bisa menjawab  selain pasrah dan menyerahkan masalahnya pada kedua pengguna Shadow Hunter.

Raven dan Ellene kembali menodongkan senapan mereka dan menembakan Shadow Hunter ke arah peti kaca di tengah ruangan, sedangkan Charlie menutup matanya karena tidak ingin melihat kemungkinan terburuk yang akan terjadi.

Cukup lama usaha mereka membuahkan hasil, hingga kedua insan yang sedang berusaha keras itu mengeluarkan keringat akhirnya peti kaca itu pecah dan serpihannya menghilang layaknya abu.

Charlie membuka matanya begitu semua telah usai, ekspresi khawatirnya menguap tatkala gadis kecil yang terbaring di tempatnya masih baik-baik saja. Anak itu buru-buru menghampiri insan yang terbaring dan memeriksa keadaannya. “Nona Alice, sadarlah!”

Tubuh gadis kecil itu sepucat kertas nan sedingin es. Seperti di lukisan yang sudah mereka lihat, rambutnya cokelat indah wajahnya terukir cantik. Gaun berwarna merahnya yang menyala seakan menunjukan sosok vampire dengan cita rasa victorian goth, apalagi di sekitar tubuh gadis kecil itu tersebar bunga-bunga mawar semerah darah.

“Nona Alice, jawab aku!” seru Charlie dengan kekhawatiran kembali menyusup ke hatinya. “Kumohon, buka matamu, Nona!”

"Sebaiknya kita bawa dulu anak ini keluar dari sini." Raven mengangkat gadis kecil itu dan menggendongnya. "Dia begitu dingin, kita harus menghangatkan tubuhnya agar dia cepat sadar."

Mereka semua setuju dan segera meninggalkan ruangan rahasia demi seberkas cahaya. Rombongan Charlie kembali ke koridor yang bermandikan sinar chandelier dari langit-langit dan menghentikan langkah serentak. Semua pandangan tertuju pada Alice yang belum sadar di gendongan Raven, berharap bahwa sosok kecil itu masih bernapas.

Lelaki bersurai hitam itu meletakan Alice yang lemah di lantai dan memeriksa keadaannya lebih detail. Tidak ada sedikit saja luka atau goresan di tubuh gadis itu, tetapi sosoknya belum membuka mata hingga detik ini. Raven menyentuh pergelangan tangannya sejenak dan memejamkan matanya, kemudian berkata, "Jantungnya masih berdetak, dia hanya belum sadar."

Walaupun begitu, Charlie masih belum bisa menghela napas lega. "Lalu bagaimana caranya kita membangunkan Nona Alice?"

Ellene terfokus pada liontin merah di kalung yang Alice pakai. Warna merah darah liontin itu seakan mengandung kabut hitam yang bergerak di dalamnya. Menyadari hal itu, Ellene kembali mengeluarkan Shadow Hunter dari persembunyian dan menodongkannya ke arah liontin kalung si gadis kecil.

"T-tunggu Kak Ellene! Apa yang mau kau perbuat?!" tanya Charlie terkejut melihat gadis itu tiba bermuka serius seakan mau membunuh Alice di depan matanya.

"Menjauhlah sedikit," titah Ellene yang sudah terfokus pada liontin itu. "Aku ingin menghancurkan sesuatu yang ada di tubuh gadis itu."

"J-jangan! Nanti Nona Alice terluka!"

"Tenanglah, Charlie. Ini tidak akan menyakitinya," balas Ellene serius.

Yah, kalau tidak meleset sih, imbuh gadis itu di dalam hati.

Satu tembakan terlontar dari Shadow Hunter milik Ellene, membuat liontin semerah darah yang tersemat di leher Alice pecah seketika. Kabut kegelapan keluar dari benda itu dan mengeluarkan erangan yang mengerikan, tetapi kemudian suara itu lenyap tak berbekas termakan keheningan koridor timur yang mereka tempati.

Kulit Alice yang pucat perlahan kembali normal layaknya anak gadis cantik kebanyakan. Bibir yang kelabu kembali merona, begitu pula pipinya yang dingin. Alice berubah dan kembali berwarna layaknya bunga yang mekar, seakan jiwanya kembali ke tempat asalnya. Melihat perubahan itu, sekali lagi Charlie menggoyangkan tubuh Alice dan memanggil namanya. "Nona Alice, sadarlah!"

Itu berhasil, gadis yang terduduk di lantai perlahan membuka kelopak matanya, menunjukan iris hazel yang bersinar layaknya permata. Alice sejenak mengerjapkan mata, beradaptasi dengan atmosfer yang ada di sekelilingnya. Setelah waktu berlalu, akhirnya dia bertanya, "Apa ... yang terjadi?"

Hati Charlie berbunga dan langsung memeluk gadis di hadapannya erat. "Syukurlah Nona masih hidup!"

Ellene dan Raven tersenyum kecil melihat dua anak kecil di depan mereka. Lelaki bermanik topaz itu terbatuk hingga menarik perhatian Ellene. "Dia benar-benar mirip denganmu."

"Hei, itu tidak benar," bantah Ellene dengan wajah tak terima dan menyilangkam kedua tangannya di depan dada. "Gadis kecil itu sangat cantik karena dia anak orang kaya, sedangkan aku biasa saja. Setidaknya aku lega dia bukanlah aku."

"Kupikir seorang gadis suka dipuji."

"Bisa-bisanya kau melontarkan hal itu padaku saat keadaan seperti ini, Raven!"

Saat mereka berdua melakukan pembicaraan sediri, manik hazel Alice menatap mereka semua. "Um ... kalian semua siapa? Ini di mana?"

"Nona Alice, Anda tidak ingat apapun?" tanya Charlie melihat kebingungan majikannya.

Alice menggeleng pelan dan meraba kepalanya. "Apakah aku tidur terlalu lama? Aku tidak ingat apa yang sudah terjadi."

Dua orang lain menghentikan pembicaraan mereka saat Alice mulai bicara banyak. Ellene merendahkan dirinya dan tersenyum pada gadis kecil itu. "Kami yang membebaskanmu dari kurungan ruang rahasia. Kita sekarang ada di rumahmu, Ambrosia House."

Mendengar kata terakhir yang terlontar dari mulut Ellene, Alice mencengkram kepalanya dan mengaduh kesakitan. Keringatnya seketika keluar banyak dan tubuhnya gemetaran. "Ke-kepalaku berdenyut sakit ...."

Charlie menoleh ke arah Ellene dan Raven, membuat lelaki goth di sana berkata, "Biarkan dia begitu, sepertinya dia sedang berusaha mengingat memori lamanya."

Mereka bertiga tidak bisa berbuat banyak selain menanti reaksi Alice selanjutnya. Gadis kecil itu masih meringis merasakan nyeri hebat di kepalanya, hingga Ellene bertanya dan membuatnya terdiam.

"Kau ingat kalau kau itu Alice Rosalina bukan?"

Si gadis kecil melotot ke arah Ellene, mengulang nama yang disebutnya barusan. "Alice Rosalina ...."

"Benar, itulah namamu," lanjut Ellene seraya mengelus kepala gadis kecil itu. "Putri dari Tuan Henry Rosalina, pemilik Ambrosia House."

Nama-nama baru terdengar oleh telinga Alice dan masuk ke otaknya. Anak itu menggumamkan nama yang dia dengar bertubi-tubi, berusaha keras mengembalikan memori yang tergerus oleh waktu.

Hingga akhirnya, satu kalimat terucap oleh bibir mungil Alice setelah sekian lama dia menggumam sendiri.

"Terakhir kali yang aku ingat ... aku tidur ditemani Ayah dan Kakak, setelah itu rasanya aku tertidur lama sekali."

Ayah dari Alice memanglah Tuan Henry Rosalina, tetapi ....

"Siapa nama kakakmu?"

Ambrosia House [END] - TELAH TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang