Three - Dining Room

2.1K 187 12
                                    

“Siapa kau?”

Masih di dalam barisan, Will yang ada di depan Ellene menatap buttler tidak biasa di depannya waspada. Pisau yang menjadi senjatanya menodong sosok di depan mereka yang masih tenang di posisinya.

“Aku penjaga lantai ini, Noel,” ujar buttler berkepala domba itu dengan sopan. “Aku tidak akan menyakiti kalian, tolong turunkan senjata itu.”

“Teruslah berdalih, kami tidak akan pernah tahu kau berbahaya atau tidak.”

Noel mengangkat tangannya, membuat posisi menyerah di hadapan barisan pelarian itu. Ekspresi pasrah yang diberikan sang buttler dibuktikan dengan ucapan bernada lirih. “Aku hanya seorang diri dan kalian bertiga, tentu aku akan kalah lebih dulu jika kalian membunuhku.”

Saat Will melirik ke belakang, Ellene tengah berperang batin dengan dirinya sendiri dilihat dari ekspresi menahan diri yang dia berikan. Sedangkan Raven tetap seperti biasanya, diam dan memandang realita dengan matanya yang dingin.

“Ellene?”

Tangan gadis itu gemetar, bibir bawahnya digigit. Perlahan-lahan dia melangkah maju mendekati Noel sementara Will dan Raven mengawasinya dari belakang.

“Ada apa, Nona?”

Jari telunjuk Ellene menggapai kepala berbulu Noel, tapi tangan itu berhenti bergerak tatkala Ellene menatap langsung mata domba milik buttler itu. “Um … kau tidak akan menyakiti kami bukan?”

“Tentu tidak, aku bukanlah Ale yang berdarah panas. Ini adalah lantai peristirahatan, tidak ada keributan yang akan menganggu kalian di sini.” Noel menggenggam tangan gadis Ellene dan meletakkannya di wajah dombanya. “Nona Ellene tentu ingin menyentuh buluku, benar? Tidak apa, tidak perlu takut, lagipula aku tidak menggigit.”

Ellene merasakannya. Benar-benar bulu domba yang halus dan lembut. Bulu seputih salju itu tidak memberikan kesan buruk apapun pada Noel, itulah yang Ellene kagumi dari sosok di depannya. Apalagi wajah domba Noel mirip dengan alpaca yang selalu ingin dia lihat, Ellene merasakan hatinya membuncah sekaligus malu karena bulu itu bukan milik hewan, melainkan manusia setengah hewan seperti Ale.

Will segera menarik tangan Ellene yang lain mundur hingga membuat Ellene terkejut bukan main lalu merenggut di depannya. “Dia tidak jahat, domba adalah hewan yang ramah,” ujar Ellene kesal karena sentakan dari Will.

“Jangan mau ditipu. Wajahnya boleh domba, tapi tubuhnya tetap manusia. Kalau kau lengah, bisa saja dia menjadi siluman mengerikan seperti Ale,” bisik lelaki itu yang menghancurkan perasaan senang Ellene karena membawanya kembali pada sosok Ale yang tertinggal di lantai bawah.

Noel tetap tenang walaupun diserang hawa curiga dari tamu tak diundangnya. Sosok itu berdeham sejenak, lalu membungkuk sedikit dengan sopan. “Kalian bertiga pasti lelah, silakan ikuti aku.”

“Kemana?

”Ruang istirahat, makanan dan minuman telah tersaji di sana. “

Will melipat tangan dan memincingkan matanya, melontarkan kalimat yang masih meragukan diri Noel. “Apa jaminan kau tidak akan berbuat aneh-aneh pada kami?”

“Aku tidak bisa memberikan jaminan apapun, tapi kalian akan bersamaku di ruangan ini jadi kita bisa saling mengawasi. Lagipula aku tidak punya senjata, kalian bebas melakukan apapun padaku jika aku mengakali kalian.”

Ellene menyikut lengan Will, memberikan senyuman seraya berbisik, ”Ayolah, dia bersungguh-sungguh kok. Kita juga belum mengisi perut selama di lantai bawah bukan? Percayalah padanya, Will.”

Will terdiam sejenak, ia melihat Noel mulai meninggalkannya diikuti Ellene dan Raven. Lelaki yang sedari tadi diam itu menepuk pundak Will, membisikan sesuatu dengan cepat sebelum meninggalkannya. “Ayo pergi, tapi tetaplah waspada.”

Will dengan berat hati menghela, membenarkan perkataan Raven kemudian menyusul dua rekan yang telah berjalan tak jauh darinya. Ellene menyambut kedatangan Will dengan terkikik geli. “Akhirnya ikut juga kan? Percayalah padaku, Noel orang yang baik.”

Noel tersenyum melihat kepolosan Ellene, sosok berkepala domba itu terkekeh. “Terima kasih sudah mempercayaiku, Nona Ellene. Aku akan memberikan hadiah spesial untuk itu.”

“Oh ya? Apa hadiah spesialnya?”

“Karena kalian lapar dan lelah, makanan untuk kalian pasti akan membuat kalian senang, juga di ruangan ini ada kamar untuk beristirahat. Anggaplah hadiah penyambutan kecil dariku.”

Ellene bertepuk tangan gembira, dirinya tak sabar untuk mengisi perut dengan makanan yang dia rindukan dan segera merebahkan diri di kasur yang empuk. Terbayang sup hangat atau roti yang lembut dipadu dengan teh yang menenangkan hati dari segala masalah yang telah terjadi, ditambah kamar yang akan dia tempati untuk beristirahat nanti akan membuat dirinya puas selama sehari.

Bahu gadis itu tiba-tiba merasakan tepukan, membuat dirinya segera melirik dan menemukan Raven sudah ada di sampingnya. “Jangan percaya siapapun di rumah ini,” bisiknya cepat lalu kembali mundur dan menyembunyikan diri dari kegaduhan barisan mereka.

Tentu saja Ellene berpikir dua kali karena Raven yang irit kata bisa-bisanya mengatakan itu. Dia menoleh sebentar ke arah Raven yang ada di belakang, tetapi lelaki pendiam itu kembali menjadi sosok yang hanya menonton dengan iris topaz-nya.

Berhentinya langkah Noel membuat barisan di belakangnya menyadari bahwa mereka sudah berada di ruangan yang berbeda. Pemandangan di depan mata sekarang ialah ruang makan yang memberikan kehangatan dari chandelier di langit-langit dan dinding ber-wallpaper coklat kejinggaan, serta tercium bau harum dari kayu manis dan sup yang menggelitik hidung. Mulut Ellene mulai banjir dengan air liur, begitu pula Will yang tadi menolak ajakan makan dari Noel.

“Silakan nikmati makanan kalian.”

Saat tubuh Noel memberikan jarak di anatara mereka, semakin jelas rupa ruang makan di depan barisan pelarian. Berdiri dengan kokoh meja makan panjang dengan banyak kursi berselimutkan kain putih yang elegan. Mangkuk dan piring berisikan makanan tersaji dengan cantik di atasnya, ditemani tea set dan vas bunga mawar yang tertata rapi penuh keindahan.

Tubuh Will dan Ellene sudah gemetar ingin segera menyantap hidangan itu, tapi suara Raven kembali memecah suasana. “Aku akan makan di kamar.”

“Silakan, beristirahatlah kalian dengan tenang. Aku akan pergi sejenak, selama aku pergi kalian bebas melakukan apapun di sini.”

Noel akhirnya benar-benar meninggalkan mereka bertiga dan menghilang di ujung ruangan. Sedangkan Will dan Ellene masih heran dengan ucapan Raven barusan. Lelaki itu menghiraukan mereka berdua dan berjalan menuju tea set di atas meja.

“Kalian lapar?” tanyanya begitu saja sambil menuangkan teh ke cangkir. “Sebaiknya kita makan di kamar saja.”

“Kenapa kau tiba-tiba bicara banyak, Raven?” Will bertanya balik dengan berkacak pinggang. “Ayo makan di sini, bersama kita.”

Namun, sesuatu yang tidak bisa diterka terjadi. Teh yang Raven tuang justru ditumpahkan ke atas salah satu vas bunga mawar yang ada di atas meja. Apa yang terjadi pada bunga itu membuat dua orang lain yang melihatnya terkejut tak terkira.

“Ini alasan kenapa aku tidak suka makan bersama.”

Ambrosia House [END] - TELAH TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang