"Mau sampai kapan kau tidur?"
Setelah pertanyaan itu terlontar, Ellene merasakan bahwa ada sesuatu yang menghantam dahinya. Sentakan itu membuat si gadis membuka matanya tergesa-gesa untuk mengetahui apa yang sedang terjadi.
Jeruji besi, itulah yang pertama dilihat. Ellene mengangkat tangannya yang menyentuh lantai, rasanya dingin dan lembab. Udara yang ada di sekitar membuat hawa dingin semakin menjadi. Penerangan yang minim juga menambah kesan ganjil di sekitarnya.
"Oi!"
Suara itu lagi. Ellene buru-buru mendekati pintu sangkar yang menguncinya dan mengintip keluar. Di seberang terdapat penjara lain yang terjejer rapi. Beberapa dari benda itu tidak mendapatkan cahaya hingga tak dapat dilihat bagian dalamnya. Namun, ada dua yang menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Ada bayangan berbentuk manusia di dalam dua penjara di seberang miliknya.
"Siapa di sana?" tanyanya takut-takut.
Bukannya dijawab dengan ramah, dahi Ellene merasakan kembali hantaman suatu benda yang keras. Seraya mengaduh, matanya melirik ke lantai yang kusam. Sebuah batu.
"Masih belum bangun ya? Apa batu yang kulempar meleset?"
Dua buah pertanyaan dari sumber yang sama berhasil membuat Ellene cemberut. "Aku sudah bangun! Jangan melempariku!"
"Maaf!" Sebuah tawa meledak kemudian. "Ternyata seorang perempuan. Raven, ayo sambut pendatang baru dong!"
Ellene menaikkan alis karena kebingungan. "Siapa kau?"
Dari penjara seberang, ada wajah yang mendekati jeruji. Seorang lelaki remaja, terlihat lebih muda dari Ellene berambut pirang memberikan senyumnya pada gadis itu. Tangannya melambai sambil memperkenalkan diri dengan santai, "Aku Wiill, senior di sini. Kau cantik juga, Kak."
Berkenalan dan langsung dipuji, tak mungkin kalau Ellene tersipu. "A-aku Ellene. Siapa itu Raven?"
Jari telunjuk Will menunjuk penjara yang ada di samping miliknya. "Penghuni sebelah. Dia orang yang pendiam, maaf soal dia."
Namun orang yang disinggung tidak memberikan respon apapun. Bayangannya tetap pada tempatnya—menunjukkan bahwa dia bersandar di dinding sejak tadi. Ellene terus memperhatikan bayangan yang membisu itu, lalu tiba-tiba sebuah manik topaz meliriknya dengan sorotan tajam. Ellene nyaris berteriak, tapi suaranya tersekat.
Will kembali terbahak karena reaksi itu. "Tidak perlu takut pada Raven, Kak Ellene. Dia tidak menggigit."
Manik topaz itu dengan cepat kembali ke kegelapan, membuat Ellene meneguk ludah. Dia mengalihkan pandangannya dan berbalik untuk berpikir. Apa yang diingatnya terakhir kali adalah, dia disambut seorang buttler setelah datang ke Ambrosia House untuk lowongan kerja. Lalu kenapa dia bisa ada di sini, lebih-lebih di dalam penjara?
"Will, apakah ini ... Ambrosia House? Bagaimana aku bisa sampai di sini?"
"Lebih tepatnya bagian bawah tanah paling dasar dari Ambrosia House." Will memukul-mukul jeruji besi hingga menimbulkan suatu melodi sembari bersenandung riang. "Kakak dibawa oleh Ale, si kucing penjaga pintu. Aku juga ingin bertanya padamu, apa kakak ada urusan dengan Tuan Henry?"
"Iya, tapi hanya urusan pekerjaan kok!" jawab Ellene cepat, kemudian dia mengerem mulutnya begitu saja karena melihat kejanggalan. Will tahu dirinya melewati gerbang depan dan tahu pula soal Tuan Henry, tapi bagaimana bisa?
"Apakah Ale itu seorang buttler?"
"Dia—"
Tang!
Ellene memekik ketika jeruji besinya dipukul dengan keras oleh seseorang. Tubuhnya cepat-cepat ditarik mundur hingga mencapai sudut tergelap ruang penjaranya, merasakan gemetar hebat akibat seruan orang yang tiba-tiba muncul di depan penjaranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ambrosia House [END] - TELAH TERBIT
Fantasía"Selamat datang di Ambrosia House" Ellene Charlotte awalnya hanya tertarik pada Ambrosia House sebatas pekerjaan belaka. Ketika disambut oleh seorang buttler dan berharap semua akan baik-baik saja, realita menampar Ellene secepat kilat karena keinda...