***Anya bergelung di ujung sofa, menarik lutut ke dada. Ia memegang buku di kedua tangannya, meskipun matanya menatap baris-baris berwarna hitam, pikirannya tidak menyerap sepatah katapun.
Perutnya mengejang. Ia belum makan malam karena terlalu gugup. Yang terus terang aneh karena itu hanya Jeremy. Sahabat baik kakaknya. Pria yang praktis pernah tinggal di rumahnya ketika ia masih kecil. Pria yang ia impikan menjadi bagian terbaik dalam dekade kedua hidupnya... Pria yang sangat mungkin menjadi pria terseksi yang pernah dilihatnya dan yang gambaran tubuh setengah telanjang seperti melekat di dalam kelopak matanya, karena setiap kali ia menutup mata Jeremy disana menunggu dan sekarang Jeremy menginap di rumahnya—
Whoa! Bernafas, girl, bernafas.
Ia menarik nafas panjang, lalu mengeluarkannya pelan, merasa sedikit lebih baik. Awalnya Anya bersikeras daripada pindah ke kamar suite hotel bersama Jeremy, lebih baik Jeremy pindah ke apartementnya. Itu karena tidak masuk akal untuk mereka berdua menginap di hotel dengan resiko dirinya diserang fans berat Jeremy. Pria itu muncul setengah jam yang lalu, lalu Anya menunjukkan kamar tamu untuk tempatnya menginap.
Tiba-tiba suara nyaring dari "The Piña Colada Song" memecah kesunyiannya. Ia mengambil ponsel di meja kopi.
"Ya, Gi, kenapa?"
"Kenapa? apa maksud lo kasih nomor gue ke Dokter Haris? dia bilang lo yang kasih, gue ngga percaya. lebih masuk akal kalo lo pukul muka dia."
"Gi—"
"Atau seenggaknya, kasih alasan kalau gue udah punya pacar." Anya menutup mata dan menaruh kepala di lututnya. Dengan semua kegilaan tentang kepindahan Jeremy yang membuatnya lupa sama sekali.
"terus gimana?"
"Gue bilang udah punya pacar, tapi lo ngga tau soalnya baru jadian." Ia menghela nafas lega.
"Makasih. Maaf, gue kaget banget kemaren. Gue ngga tahu kudu jawab apa."
"Kapan lo bakal confess ke dia, atau move on aja?"
"Gi..."
"Gue tahu lo nggak senang kalau gue bahas ini, tapi ayolah. Lo nggak bisa nunggu seumur hidup buat cowok kaya dia, terus berharap suatu hari dia suka sama lo."
"Yah, gue tahu, cuman—" Anya mendengar Jeremy membuka pintu kamar tidurnya menyusuri lorong.
"Ah, gue kayaknya ada urusan, nanti gue telefon lagi, oke?" Sebelum temannya bisa bicara, ia menutup telepon, membungkam nada deringnya, dan meletakkkannya di meja.
"Baca apa?" Suaranya yang dalam bergema di ketenangan rumahnya, rumah pria bebas yang terdengar keluar dari tempat. Ia melihat saat Jeremy berjalan ke arahnya tidak memakai apapun kecuali celana pendek atlet yang menggantung rendah—hampir terlalu rendah hingga tidak senonoh—di pinggulnya. Di satu sisi Jeremy seharusnya di ujung yang berbeda dari sofa, tapi ia entah mengapa kehilangan akal dengan gangguan dari tubuh berototnya yang telanjang.
"Mingkem, nanti kemasukan lalet." Jeremy menyeringai. Mengatupkan rahangnya, dengan sangat malu Anya kembali pada buku di depannya yang mungkin saja ditulis dalam bahasa Spanyol. Ia selipkan rambut basahnya di belakang telinga dan membersihkan tenggorokannya.
"Makanya pakai baju."
"Kenapa? makin dikit makin nyaman. Lagian pakai celana." Ia terkesiap. Ketika Jeremy tertawa, ia menyadari itulah reaksi yang diinginkannya. Menyipitkan matanya, ia lemparkan buku ke arah Jeremy, yang ditepis dengan kibasan tangannya. Betapa menyebalkan.
"Tenang, Anya. Nggak ada salahnya mengagumi fisik. Itu pelajaran pertama."
Anya mendengus. "Gimana caranya natap orang yang bener?"
KAMU SEDANG MEMBACA
SEDUCING CINDERELLA
Romance"Kesempatan Jeremy Sutan sebagai petarung Mix Martial Art untuk merebut kembali gelarnya sebagai juara kelas berat ringan hancur berantakan ketika ia cedera hanya beberapa bulan sebelum pertandingan ulang dilaksanakan. Untuk memastikan bahwa dia sem...