1

386 25 0
                                    


***

tok.. tok..

Anya merasa tidak merasa perlu mengangkat kepala saat mendengar ketukan di pintu masuk ruang kerjanya. Pasien terapi fisik selanjutnya membuat jadwal lebih pagi, yang mana membuat dia jengkel bukan main karena laporan pertemuan sebelumnya belum selesai dikerjakan. Ia mendorong kacamatanya kembali ke tempat semula.

Anya memilih mengabaikan ketukan pintu, melanjutkan pekerjaan yang nanggung belum selesai. Pasien itu bisa masuk ke dalam ruangan sepuluh menit lagi setelah—

tok.. tok..

Ketukan itu terdengar lagi, kali ini sedikit lebih memaksa, dan niatnya untuk menggarap laporan lebih dulu gagal, seperti biasa.

Frustasi, Anya mengacak kesal poninya yang memang sudah tidak beraturan. pasiennya hari ini ternyata cukup menguji kesabaran. Ia membenarkan poni dan menyembunyikan ekspresi masam dibalik senyuman karir. well profesional. detik berikutnya Anya singkirkan pulpen dari genggaman ke atas tumpukan dokumen didepannya.

"Masuk."

Kepala dengan rambut hitam tertata sempurna muncul di pinggir pintu.

"Saya ngga ganggu kan?"

Sebelum ia bisa mengendalikan diri untuk menjaga sikap, jantungnya berhenti berdetak beberapa saat ketika mendengar suara lembut melow milik Dr. Haris Imanuel, Direktur dari Sport Medical dan pria terseksi di Rumah Sakit ini.

Dengan cepat, otaknya memikirkan penampilannya, yang kemudian mendiagnosis seperti biasa yaitu tidak menarik dan kusut. Menahan desahan kekecewaan dan keinginan untuk merapikan rambut yang mencuat dari sanggulnya, dia memberi pria itu senyuman terbaik.

"Engga kok. ada meeting lagi, ya?" Lawan bicaranya menggeleng yang membuat Lesung pipi kembar muncul disana, Haris melangkah masuk ke dalam ruangan.

Anya melihat pria itu berbalik untuk menutup pintu, dan darah di nadinya semakin cepat. Sebagai seorang dokter bedah tulang, kunjungan pria itu ke ruang-kerja-miliknya-yang-tidak-mengesankan alias di Pusat Pengobatan Rehab ini cukup sering, hanya untuk membicarakan pasien bersama. Tapi tidak sekalipun pria itu menutup pintu.

Mencoba untuk tidak terburu-buru menyimpulkan, ia menunjuk kursi lain di depan mejanya.

"duduk duduk."

"Uh..."

Anya menengok untuk melihat kearah satu-satunya kursi untuk tamu yang tertimbun oleh folder, koran tua, dan artikel penelitian. Ia bersumpah bisa merasakan pipinya berubah warna, buru-buru ia bangkit dari kursinya yang agak berderit mencoba untuk menyingkirkan dokumen-dokumen sialan itu.

"Oh Shoot, maaf. Ini, bentar—"

"Nggak apa-apa, kamu ngga usah repot—"

"Saya maksa." Ia mengumpulkan tumpukan kertas sembarang di tangannya.

Oh sebenarnya ini bukan pertama kalinya ia terlihat konyol di depan pria terseksi di Rumah sakit ini. Anya berharap ia lebih terorganisir. Kemudian otaknya berputar mencari tempat untuk menyembunyikan kekacauannya. Tumpukan dokumen yang sama juga berbaris dilantai tepat di sepanjang dinding ruang kerjanya, diatas tiap inchi meja dan ruang kosong lemari arsip pun tidak jauh berbeda. Akhirnya ia menyerah dan menaruh tumpukan itu ke kursi sebelum mengembalikan perhatian sepenuhnya kepada si tamu.

Ya Tuhan, kenapa ia tidak bisa menjadi lembut dan sinergi seperti wanita lain?

Seperti jenis wanita yang Haris kencani.

SEDUCING CINDERELLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang