Prolog

95 21 23
                                    

Malam ini terasa begitu sunyi. Sang rembulan bahkan terasa seperti sedang mengikutinya, yang berjalan dengan begitu anggun di setiap langkah kakinya.

Gadis berhijab biru itu berjalan sambil menyematkan earphone dikedua telinganya. Lantunan murratal ayat suci al-quran selalu menemaninya disetiap langkah. Membuatnya tidak merasa kesepian, membuatnya merasa dekat dengan sang khaliq.

Pernah gadis itu mencoba untuk tidak menyematkan earphone, namun bisikan-bisikan, caci maki hingga bahasa binatang yang seharusnya tidak ia dengar malah tidak sengaja terdengar. Itu manusiawi, namun bagi Khanza, tidak.

Dirinya tidak terbiasa berada dihadapan banyak orang. Dirinya lebih suka berdiam diri di belakang sambil mendengarkan daripada berbicara dihadapan banyak orang.

Ia tahu, sebagai manusia sudah sepatutnya bagi kita untuk bersosialisasi dengan yang lain, namun hal itu sulit bagi Khanza. Ia hanya bisa berbicara dengan orang-orang yang memang dekat dengannya.

Seperti Cathlyn dan Meyra. Mereka memang memiliki sifat yang saling bertolak belakang, namun mereka bisa menerima segala kekurangan Khanza terlepas dari segala nyinyiran orang-orang terhadapnya.

Khanza baru saja selesai mengerjakan tugas kuliahnya—yang harus di kumpulkan besok—alhasil, ia baru pulang dari kampusnya pukul setengah sebelas malam. Khanza tidak pernah membawa tugasnya ke kosannya karena pasti akan selalu ada yang mengganggunya jika mengerjakan di kosan.

Langkah kakinya memelan, saat seseorang terasa sedang mengikutinya. Lantuan murratal masih mengalun, namun Khanza merasa kalau dirinya sedang diikuti.

Ini bukan yang pertama kali—melainkan yang ketiga kali, Khanza merasakan hal seperti ini. Rasa dimana dirinya hanya bisa berjalan cepat sambil melantunkan istighfar di dalam hati.

Namun suasana malam ini begitu gelap, bahkan sudah sangat jarang sekali ada orang yang berlalu lalang di sini. Khanza mempererat genggaman tangannya pada ransel, menundukan wajah sambil terus berjalan cepat.

Napasnya sudah tersenggal, keringat dingin perlahan muncul di pelipisnya. Gadis itu terus berjalan dan berjalan hingga tidak menyadari kalau ia sudah keluar jalur dari jalan menuju rumahnya.

Pikirannya buyar—satu-satunya yang ia pikirkan saat ini adalah; bagaimana cara ia bisa keluar dari situasi saat ini? apa ini adalah akhir hidupnya?

Pikiran-pikiran negatif terus bermunculan dibenaknya hingga tepat saat kakinya menyentuh jalan raya, seseorang menarik lengan bajunya hingga tubuhnya tertarik ke belakang.

Jantungnya memompa cepat saat sebuah motor melintas cepat di depannya. Andai saja orang itu tidak menariknya, Khanza pasti sudah berakhir di rumah sakit.

Matanya tefokus pada lengan bajunya yang masih di pegang erat oleh pemuda itu. Menyadari arah pandang Khanza, pemuda itu melepaskan pegangannya. "Ma-maaf," ucap pemuda itu.

Khanza menunduk, refleks menjauh dari pemuda itu sehingga memperbesar jarak diantara mereka. Keduanya terdiam, dengan suasana canggung yang sangat menyiksa.

"Ekhm." Pemuda itu berdeham, berusaha mencairkan tembok kecanggungan diantara mereka. "K-kau tidak apa-apa?"

Khanza tidak menjawab, ia hanya menunduk sambil memainkan ujung bajunya.

"Hey—kau mendengarku?"

Khanza mendongak, mengangguk dua kali lalu menunduk lagi.

"Kau tidak bisa berbicara?"

Khanza menggeleng, lalu sedetik kemudian, ia mengangguk, membuat pemuda itu mengerutkan alis kebingungan.

Mereka terdiam lagi hingga akhirnya, Khanza memutuskan untuk pergi dari sana.

"Eh—tunggu!" Lagi, pemuda itu memegang ujung  lengan bajunya, membuat langkah kaki Khanza terhenti.

Pemuda itu melepaskan genggamannya. "Rumahmu—bukan kearah sana."

"—Darimana kau tahu?"

"Woahh, kau bisa bicara?!"

Khanza terdiam, ia memalingkan wajah lalu bergegas pergi lagi.

"Eh-eh, Tunggu dulu!"

Khanza memejamkan matanya malu, ia menghentikan langkah tapi tidak menoleh kearah pemuda itu. "Apa?" ucapnya lirih.

Tanpa Khanza sadari, pemuda itu tersenyum. "Tidak, emm—apa aku boleh mengikutimu?"

Khanza menoleh cepat. "Apa?!"

"Jangan salah paham! aku—aku hanya ingin memastikan kau pulang selamat. Kau tahu, akhir-akhir ini banyak terjadi kasus penculikan dan pelecehan dan kebanyakan korbannya adalah wanita."

Khanza berpikir sejenak, sebenarnya ia merasa aneh dengan pemuda itu. Mereka baru bertemu pertama kali, tapi pemuda itu seolah tanpa beban mengutarakan hal yang mungkin bisa saja mengundang salah paham.

Khanza tidak terlalu memusingkannya, ia memilih untuk melanjutkan jalannya karena waktu sudah menunjukan pukul sebelas malam.

Pemuda itu sempat merasa bingung saat melihat Khanza melanjutkan jalannya tanpa menjawab pertanyaannya namun ia langsung mengikutinya. Berjalan dengan jarak sejauh dua meter di belakangnya dengan senyum yang tak pernah pudar.

Pemuda itu juga tidak tahu, kenapa ia melakukan hal semacam ini, yang jelas entah sejak kapan, ia sudah tertarik dengan gadis berlesung pipit itu.

Dan dari sinilah kisah mereka di mulai.

Kisah dimana sesuatu yang mulanya tidak mungkin terjadi, menjadi mungkin jika salah satu dari keduanya mau memulai langkah baru.

###

-

Bismillahirrahmanirrahim-

Asalamu'alaikum ^^

Sebenernya ini adalah sebuah teenfict semi spiritual-romance yang merupakan kolaborasi dari kami berempat. kimarmyla Sintaaa14 zirlifer CiciYuniarYuniar

Kami masih pemula, so, jika ada kritikan ataupun saran dari kalian, akan kami terima dengan sepenuh hati.

Last, what do you think abaout this story from this prolog?

If you like this story, pliss give us your support with vote and comment ;')

Jazakallah khairan katsiran ^^

Hold Me TightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang