ㅡ9

1K 259 21
                                    

Sebuah senyum terulas dari bibir sang pelukis muda. Entahlah, sesuatu sedang membuat hatinya terasa lebih baik. Seperti perasaan lega perlahan melingkupi hatinya.
 
 
Ternyata menjadi jujur bisa membuat dirinya lebih baik
 
 
Tiba-tiba pandangannya dari karpet di sepanjang lorong teralihkan pada sebuah pintu di samping kirinya. Ia menatap lurus kearah kiri dan bertemu tatap dengan pantulan dirinya di cermin yang berada di dalam ruang tengah itu.

Perhatiannya terus terpaku pada pantulan bayangannya itu, begitu juga sebaliknya. Ia sadar akan satu hal, semenjak ia menjalani sesi konseling dengan dr. Yoongi. Sesuatu yang berbeda hadir di hidupnya. Sedikit demi sedikit ia berhasil melepaskan satu persatu ketakutan dan belenggu yang menyelimutinya.

Bayangan wajah serius Yoongi saat menatapnya di sesi-sesi konseling yang sudah ia jalani tiba-tiba terngiang.
 
 
Dan sebuah senyum tipis melengkung di bibirnya,
 
 
sebuah rasa yang tidak biasa mulai tumbuh di dalam hatinya.
 
  
 
 
 
 
  
 
  
 
 
 
  
 
 
 

The forest just for us, you weren’t there

The route I took, I forgot

 
 
 
 
 
 
   
 
 
 
  
 
 
  
   
  
   
   
  
  

"Aku tahu Hoseok, tidak biasanya memang aku se antusias ini terhadap pasienku."

 
'That's it. Kau bahkan sampai rela menyambangi rumahnya dan melakukan konseling disana. Ini tidak seperti biasanya dirimu, Yoon.'

 
"Entahlah, aku juga tidak mengerti. Kenapa aku begitu tertarik pada problem yang dimiliki pelukis muda ini."

 
'Aku hanya bisa mengingatkan untuk hati-hati. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi padamu.'
 
 
"Iya, aku mengerti. Terima kasih."

 
'Sampai jumpa malam ini di acara reuni.'
 
 
"Hmm, iya."

 
'Take care..'

 
Yoongi menutup sepihak sambungan itu. Sebenarnya sudah terlampau biasa ketika Hoseok menelfonnya untuk hal yang tidak penting seperti ini. Tapi entah kenapa kali ini lain. Hoseok tidak pernah sekhawatir ini sampai mengirim spam chat dan missed call berulang kali.

Dan ini karena dia memberitahu Hoseok bahwa dia akan mendatangi rumah Park Jimin untuk melakukan konseling disini. Dan wallaaa Hoseok tiba-tiba menjadi kalang kabut karena khawatir pada dirinya.
 
 
"Dokter sedang sibuk ya?"
  
 
Tiba-tiba pertanyaan dengan nada halus mengalun dari arah lorong. Yoongi terlonjak kaget mendapati figur Jimin telah berjalan kearahnya dengan nampan berisi minuman dan biskuit.

Berani sumpah, sekarang apapun yang menyangkut Park Jimin terasa creepy dan horor
  
 
"Ah tidak, temanku hanya menelfon untuk mengatakan hal yang tidak penting."

 
"Oh begitu. Apa sesi konseling kali ini merusak jadwalmu, dok? Apa merepotkan?"
 
 
Park Jimin duduk disampingnya sambil meletakkan nampan itu di meja. Dan entah kenapa, rasanya aneh duduk bersebelahan dengannya seperti ini. Karena biasanya mereka duduk berhadapan dan ada meja sebagai pemisah. Tapi kali ini mereka bahkan duduk di satu sofa yang sama dan tanpa satu pemisah pun.

Oh, Yoongi terlalu kuno
 
 
"Ah, bukan begitu. Hari ini memang hanya sesi konselingmu yang ada di jadwalku. Dan selalu seperti itu."
 
 
"Syukurlah kalau begitu. Senang mendengarnya."
 
 
Pelukis muda itu tersenyum. Terlihat sangat tulus dimata Yoongi. Senyum yang mungkin belum pernah ia lihat sepanjang sesi konseling mereka. Biasanya Jimin akan tersenyum dengan sedikit keterpaksaan, seperti sebuah kepalsuan untuk membunyikan sesuatu atau lebih sekedar berusaha baik-baik saja padahal nyatanya tidak. Kali ini senyum itu benar-benar murni dan seakan begitu tulus.
 
 
"Park Jimin-ssi, apa sesuatu membuatmu senang?"

 
Jimin justru sedikit terkejut dengan pertanyaan Yoongi yang tiba-tiba. "Apa sesi konselingnya sudah dimulai, dok?" Dan justru pertanyaan yang balik ia lontarkan.
 
Yoongi sedikit mengangkat bahu, "Aku hanya bertanya."

Jimin menggaruk tengkuknya dan mengalihkan pandangan dengan sedikit senyum canggung. "Ah, kupikir tidak ada, dok."

Tidak mungkin. Jelas-jelas gesturnya berbeda. Dan inilah tantangan utamanya terhadap Park Jimin, membuatnya bicara jujur itu sulit. Tapi apapun yang membuat suasana hatinya membaik itu, semoga akan berakhir baik pula untuk kelangsungan sesi konseling dan hidup Park Jimin sendiri.
 
 
"Kau tahu, Jimin-ssi, kau harus terbiasa berbagi dengan orang-orang di sekitarmu. Bukan hanya masalah materi, materi bukan segalanya. Tapi mulai dari hal-hal kecil, seperti keluh kesahmu, perasaan yang kau rasakan, sampai masalah yang kau alami. Itu akan membantumu keluar dari belenggu kesendirian yang bisa menyebabkanmu memiliki dunia khayalanmu sendiri. Kau tahu, itu tidak baik."
 
 
Jimin terpaku melihat Yoongi. Tatapannya melunak seiring Yoongi yang juga terus menatap matanya.
 
 
Jimin memutus kontak mata mereka dengan menunduk. "Tapi tidak ada yang bisa kuajak berbagi, dok."

Yoongi sedikit terkejut, tapi memakluminya dan menyadari kebodohannya sendiri. Park Jimin sejak awal selalu sendiri bukan?
 
 
"Kau bisa berbagi denganku, jika kau tidak keberatan."

 
Hey!
 
 
Sadarkah apa yang dikatakannya baru saja?

 
Nyatanya setelah mengatakan itu, Yoongi justru berubah kikuk dan berulang kali memikirkan kembali kata-katanya tadi.

Disisi lain, Park Jimin justru menahan tawanya sebisa mungkin. Dia baru tahu kalau dokter psikolognya ini ternyata begitu kaku dan naif.
 
 
"Memang boleh jika aku menjadikan dokter sebagai tempatku berkeluh kesah?" Jimin terus saja tersenyum dan mengatakan kalimatnya dengan nada yang sedikit dibuat-buat. Sekali-kali menggoda dokter muda itu tidak dosa bukan?

 
"Teㅡtentu saja.."
 
 
Sialan,

tatapan matanya!
 
 
Jimin hanya tersenyum melihat kelakuan Yoongi yang mendadak canggung di depannya. Padahal Yoongi yang selalu membuat suasana santai setiap sesi konseling mereka.
 
 
"Kalau begitu ajari aku, dok."

 
"Apa? Ajari apa?"
 
 
"Ajari aku menjadi jujur."

 
 
  
 
 
 
 
ㅡTo Be Continued
 
 
 

You in Me ㅡMyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang