ㅡ3

1.3K 300 20
                                    

Jimin baru sadar, ia berada di ruang tengah mansionnya. Padahal seingatnya tadi ia masih berada bersama Yoongi melakukan sesi konseling nya. Ah, mungkin sudah waktunya untuk pulang.

Sampai saat pandangannya terhenti pada sosok anak kecil yang berdiri tepat di depan cermin itu. Anak kecil itu terus memandang pantulan dirinya sendiri yang ada di dalam cermin. Ia jadi teringat akan dirinya sendiri. Apa mungkin saat ia sudah terpaku di depan cermin itu akan terlihat seserius ini?

Sedikit terkejut, tiba-tiba ia mendengar suara terisak. Dan ia sadar itu adalah suara isakan dari anak kecil tadi.

"Aga!" teriak Jimin padanya. Beberapa saat ia menunggu, tapi tak ada respon berarti dari anak yang dipanggilnya.

Entah kenapa, ia merasa tertohok. Sesuatu seperti menghantam ulu hatinya. Pemandangan di hadapannya seperti mengingatkannya akan sesuatu yang semu.

Hal yang ia sadar betul, jangan sampai anak itu berlama-lama di depan cerminnya.

"Pergi dari sana. Jangan menangis disana, aga! "

Tetap saja nihil, justru yang ia dengar justru isakan anak itu telah berubah menjadi tangisan.

Sampai saat ia ingin menghampiri anak itu untuk menghentikan aktivitasnya. Tidak, ini salah. Anak itu tidak boleh sampai menangis disana terlalu lama. Sesuatu yang buruk akan mengikutinya setelah itu.

"Aga! " teriaknya sekali lagi. Niat hati ingin menyeret anak itu untuk pergi dari hadapan cermin itu, tapi suatu penghalang aneh menghentikan langkahnya. Sebuah selaput bening tak kasat mata menghalangi dirinya agar tidak bisa masuk lebih jauh untuk menjangkau anak itu.

"Aga! Kau mendengarku? Pergi dari sana! Jangan menangis disana, menangislah di depan ayahmu!" teriaknya sambil berusaha memukul penghalang itu. Setengah mati Jimin bahkan merasa frustasi karenanya, entah kenapa.

"Jebal, aga!!!"

Detik selanjutnya, ia justru terdiam bergeming karena keterkejutan menyerang sanubarinya. Anak itu menoleh kepadanya kemudian.
 
 
Karena anak kecil itu adalah dirinya sendiri
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

If it was for you

I could pretend that I was happy even if I was sad

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Yoongi masih setia mengamati setiap pergerakan pasiennya. Bahkan sekecil apapun ekspresi tubuh yang ditunjukkan Jimin padanya. Terduduk dengan melamin yang terlampir portofolio diatasnya dengan goresan pena yang sedari tadi terus menyibukkan diri.
 
 
Park Jimin terlihat tampan saat tidur, itu yang ada di pikirannya
 
 
Bukan, bukan maksudnya sudah terdoktrin para karyawannya untuk ikut menyukai pelukis yang satu ini. Hanya saja, ia menangkap ekspresi seperti Jimin sangat menikmati tidurnya kali ini. Padahal dia berada di bawah pengaruh hipnotis.

Di awal tadi, ia sempat memberikan pengarahan padanya untuk hanya membayangkan hal yang ingin dia keluhkan di sesi konseling mereka. Mungkin bayangan itu telah menjadi mimpi di dalam tidurnya. Tapi sampai saat ini, belum ada respon berarti darinya. Bahkan nafasnya terdengar normal, tidak menunjukkan perubahan.
 
 
Jangan bilang Jimin terlanjur tertidur?
 
 
Ah tidak, selama ia menjadi psikolog, tidak ada kasus pasiennya terlanjur tertidur karena hipnotisnya. Yang ada justru dia yang tertidur karena pasiennya susah diajak kerja sama dan malah memimpikan hal yang tidak perlu.

Berniat menunggu beberapa menit, ia terkejut mendapati nafas Jimin sedikit memberat dengan kerutan di dahinya. Respon bagus, itu berarti ada sesuatu yang memicunya.

"Park Jimin-ssi, kau bisa mendengarku?"

Bukan jawaban yang ia dapat, tapi justru nafas itu semakin mempercepat intensitasnya. Jimin seperti panik di dalam sana.

"Park Jimin-ssi, bisakah kau katakan apa yang kau lihat di sana?"

 
 
 
"Aga! "
 
 
 
 
"Anak kecil?"

Yoongi terkejut bukan main, Jimin sudah memiliki anak?

Lagi-lagi nafas Jimin memberat dan semakin terpacu cepat. Yoongi sendiri hanya mengamatinya dan terus menuliskan setiap detail pasiennya di lembar portofolio.

"Pergi dari sana! Jangan menangis disana, aga! "

Yoongi mendekat, meraih salah satu telapak tangan Jimin yang sudah berkeringat dingin karena efek kepanikannya. Ia belum mau menyudahi sesi ini, karena sesuatu pasti sedang terjadi di dalam sana meski masih samar.

"Aga! "

Tiba-tiba Jimin berteriak keras memanggil anak itu dan jujur itu membuatnya terkejut. "Kenapa dia berteriak?" bisiknya pelan dengan masih mengamati pergerakan Jimin.

"Aga! Kau mendengarku? Pergi dari sana! Jangan menangis disana, menangislah di depan ayahmu!"

Tunggu, jika Jimin menyebut ayahmu itu berarti bukan dia ayah yang dimaksud disini. Lalu siapa anak itu? Siapa ayahnya? Dan kenapa Jimin peduli dengannya?"

"Jebal, aga! "

Entah apa yang sedang terjadi di bayangan Jimin sekarang, ia yakin anak yang dimaksud pasti memiliki andil besar di permasalahan yang sedang Jimin hadapi.
 
 
 
 
 
Satu fakta baru, Jimin memiliki ketakutan akan sesuatu. Bukan orang, melainkan sesuatu yang berhubungan dengan orang itu.
 


 
 
 
 
 
To Be Continued

_______
 
Note : 'Aga' untuk memanggil anak kecil, seperti panggilan 'nak'. Panggilan selain 'komaya'

_______

 
 
Whatsup!

Dan inilah rupa chap 3 nya wkwk

Buat yg request Bad Things, besok saya akan up satu chap

Okay then, see saw *eh see you
And always big love ❤

You in Me ㅡMyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang