Tatyana

34 4 2
                                    

Stasiun ini masih tetap sama. Gedungnya yang berwarna warm yellow. Rel-relnya yang coklat. Gerbong-gerbong kelabu yang hilir mudik. Dan bangku kayu itu.

Tak ada yang berubah.

Sejak hari itu. Ketika kucium lembut bibirmu untuk yang kesekian kali, seraya memeluk erat pinggang rampingmu, tak ingin melepaskanmu.

Aku berharap surat perintah yang kauterima itu salah alamat. Bukan ditujukan kepadamu, tapi untuk letnan lain. Namun, namamu lah yang tercetak jelas di amplop dan badan surat. Namamu yang cantik itu.

Aku berharap penugasanmu kali ini tidak lama.

Aku berharap...

Dan terus berharap. Namun pada akhirnya aku tetap terpaksa melambaikan tangan mengiringi langkahmu memasuki kereta yang akan membawamu ke Moskow.

"Kenapa kau memilih kereta?" tanyaku waktu itu dengan mata yang tak lepas memandangmu, berusaha melekatkan wajah menawanmu dalam benak ingatanku. "Bukankah pesawat bisa membawamu lebih cepat? Dan membuatmu menyelesaikan tugasmu lebih cepat. Dan, tentu saja, kau pun bisa segera kembali ke sini, ke pelukanku."

Aku tidak bisa jauh darimu. Itu kalimat singkatnya.

Senyummu yang menjawab kalimat egoisku itu. Senyum yang selalu sangat kurindu, bahkan ketika berada sangat dekat sekalipun.

"Ada beberapa tempat yang harus kukunjungi sebelum sampai di Moskow," jawabmu kemudian. "Lagipula..."

"Lagipula?"

Senyum itu muncul lagi.

"Kereta ini..." ucapmu seraya mengangukkan kepala pada gerbong di belakangnya. "Dan jalur yang akan dilewatinya, memberiku banyak kenangan manis." Senyummu mengembang semakin lebar.

Aku hanya bisa menatap senyum itu. Dan mata kelabu—yang selalu kusuka itu—yang berkilau ditimpa matahari akhir Juli.

"Aku akan kembali. Secepatnya." Tanganmu yang ramping membelai rambut coklatku.

"Moskow itu jauh sekali..." bisikku.

"Lev, aku akan kembali," Kau mengulangi kalimatmu. Kali ini dengan nada yang lebih tegas.

"Aku akan merindukanmu."

"Aku pun." Lalu bibir lembutmu menyentuhku. Lagi. Dan lagi.

"Aku harus pergi," ucapmu tak lama kemudian. Tepat sebelum pengumuman keberangkatan kereta yang melalui Trans Siberia dari Vladivostok menuju Moskow bergema di stasiun.

"Tatyana..." panggilku ketika dirimu menaiki gerbong 5 seraya meraih tanganmu. Aku benar-benar tidak ingin melepaskanmu. "Kau yakin harus pergi?"

"Lev, kita sudah membahas ini berulang kali. Ini pekerjaanku. Tugasku. Kewajibanku. Juga hakku."

"Hak?"

Lengkung di wajahmu muncul lagi. "Aku yang memutuskan untuk menjadi prajurit. Jadi sudah menjadi hakku untuk menjalankan tugas ini, Lev," Kau turun lagi dari kereta, menangkupkan kedua tangan rampingmu di wajahku. "Ayolah, Lev, jangan cengeng begitu. Kau ini kan calon suami Letnan Tatyana Shamanov. Letnan wanita nomor satu di Russian Air Force. Dan kau akan jadi suamiku akhir tahun ini. Kita akan menikah, Lev. Sebelum Natal."

"Berjanjilah padaku," ucapku. "Kau harus pulang. Kembali padaku."

Senyummu terkembang lagi ketika kau kembali menaiki kereta lalu berdiri gagah di pintunya. Rambut hitammu yang dipotong sangat pendek bergoyang diterpa angin seiring pergerakan kereta. "Tentu!" jawabmu pasti. "Aku akan jadi Nyonya Soverighn akhir tahun ini, tentu saja aku akan pulang. Dan, Lev, kaupun harus berjanji satu hal padaku. Novel yang sedang kaukerjakan sekarang ini, selesaikanlah! Itu tentangku kan? Dan jadikan aku orang pertama yang membacanya."

KARENA CINTA ... (SHORT STORY ANTHOLOGY)Where stories live. Discover now