Deru mesin angkot meninggalkan asap kehitaman yang mengotori langit kota ini. Dan tentu saja mengotori paru-paruku. Aku terbatuk berkali-kali. Tapi traffic light itu sudah berwarna merah. Tak memberiku kesempatan untuk menenangkan nafasku sebentar.
Dengan kaki-kaki kecilku, kukejar sebuah angkot yang tengah mengantri di lampu merah, menaikinya, dan membagi-bagi amplop putih kosong pada para penumpangnya; berharap ada yang mau berbaik hati menyisihkan rejeki mereka hari ini padaku, pada seorang bocah kecil yang terpaksa hidup di jalanan.
Aku bernyanyi dengan suara cemprengku, sekadar menghibur bapak, ibu, kakak-kakak, dan siapapun yang ada di angkot, meski aku tahu sebagian besar dari mereka merasa terganggu. Ketika lampu mulai berubah kuning, kutarik kembali amplop-amplop itu sembari tersenyum getir.
Melompat keluar dari angkot kutatap langit Kota Bogor yang biru. Ya, inilah hidupku. Makan dari hasil menjual suara cemprengku yang fals.
Di bawah kerindangan sebuah pohon yang cukup memberi kesejukan di tengah panasnya kota kubuka amplop demi amplop. Yang pertama, kosong. Kedua, kosong. Ketiga, seribu. Keempat, kosong. Kelima, keenam, kosong lagi. Yang terakhir, lima ratus. Ha~ aku menghela nafas. Setengah hari ini aku cuma dapat seribu lima ratus. Makan apa aku hari ini?
Sembari mendesah kutengadahkan kepala, menatap langit yang berwarna biru. Biru yang sangat cerah. Langit hari ini tak bersahabat denganku. Aku sedang sedih ia malah biru cerah. Bukankah sedih itu identik dengan kelabu? Kenapa langit tak mau kelabu, sebagai tanda toleran padaku yang sedang kelabu?
Ah, bukan cuma hari ini langit biru cerah. Kemarin dan kemarinnya pun langit Kota Hujan ini tak mau kelabu. Bahkan ketika gerimis menyiram bumi langit itu tetap tak mau kelabu. Aku heran, bukankah langit saat hujan itu berwarna suram? Kenapa ia tetap biru, seolah mau menghinaku, mau mengejekku, mengejek hidupku yang suram?
Lagi, kuhela nafas. "Dasar aneh!" gumamku pada diri sendiri. "Apa hubungannya langit biru dengan hidupku? Kan suka-suka dia mau biru atau kelabu! Cuma Tuhan yang kuasa menentukan birukah atau kelabukah langit hari ini..."
Tuhan?
Aku kaget sendiri dengan gumamanku.
Apa yang kutahu tentang Tuhan?
Aku tak pernah kenal yang namanya Tuhan.
Yang kutahu dan kukenal adalah cara bertahan hidup di jalan.
Masih kutatap langit. Ada bayang ibuku di sana. Ibuku yang pergi meninggalkanku karena tak tahan dengan sikap kasar ayah. Ia pergi begitu saja, tanpa salam perpisahan, tanpa ucapan apa pun. Kepergiannya membuat ayah yang kasar semakin kasar. Aku dan kakakku yang jadi korban. Karena tak tahan kakak mengajakku minggat dari rumah. Dan... di sinilah kami berada...
"Heh! Bengong aja luh!" Sebuah sodokan di kepala membuatku terlompat kaget.
Kutatap orang yang sudah seenaknya itu. Kakak.
"Dapet duit berapa luh?" tanyanya sembari menghempaskan pantatnya di sampingku.
Kubuka kepalan tanganku. Memperlihatkan selembar ribuan lusuh dan sebuah uang logam berharga lima ratus.
"Hah?! Segini doang?!" Kakak merenggut uang dari genggamanku. Matanya menatap tajam padaku. Dia marah.
Aku menunduk.
"Ngapain aja sih luh sepagian ini?! Heh... Kerja gak luh?!"
"...iya..." Aku menjawab pelan.
"Alah! Dari tadi guah liatin kerjaan luh nenggak doang! Apa sih yang luh liat di atas sono?!"
YOU ARE READING
KARENA CINTA ... (SHORT STORY ANTHOLOGY)
Short StoryBerisi kisah-kisah pendek yang saya tulis sejak lama. 1. Tatyana Diikutkan dalam sayembara Nulisbuku dengan tema Kasih Tak Sampai dan masuk ke dalam 100 cerita terpilih (diterbitkan di buku kedua, kalau tidak salah). 2. Langit Itu Tetap...