"Masih sakit?" Yuya berbisik di telingaku. Tangannya menggerut lembut sisi kepalaku. "Perlu kukompres perutmu?"
Aku menggeleng. "Sudah sedikit lebih baik," ucapku serak, suaraku teredam bantal karena posisi tidurku yang setengah tengkurap, menenggelamkan wajah di bantal.
"Kau yakin?" Yuya masih berbisik di telingaku. "Mau minum air hangat?"
Sekali lagi aku mengggeleng. "Tidak. Sudah merasa lebih baik..." kataku.
"Hmmm..." Yuya beranjak dari posisinya: berlutut di sisi tempatku berbaring, sofa ruang tengah. "Tidak ingin pindah ke kamar?"
"Nanti saja..."
"Baiklah... Aku ke kamar ya? Ada yang harus kukerjakan. Panggil aku kalau kau membutuhkan sesuatu..."
"Kau mau mengerjakan apa?"
"Tugas kelompok. Karena aku tidak bisa ikut mengerjakan di rumah Miyata, jadi aku dapat tugas mengumpulkan data dan mengirimkannya lewat email..."
"Mmm... Pakai Macbook punyaku dan kerjakan di sini."
Lewat sudut mata, kulihat Yuya mengangkat kedua alisnya dan memajukan bibirnya. Sorot matanya menandakan ketidaksetujuan. "Uhm...Baiklah," ujarnya sejurus kemudian lalu masuk ke kamarku, dan kembali dengan Macbook putih milikku. Diletakkannya benda itu di meja, ke kamarnya untuk mengambil alat tulis dan beberapa buku. Ke dapur mengambil dua toples kue kering dan sebotol air mineral. Sepuluh menit kemudian dia sudah menyalakan Macbook, dan duduk dengan ekspresi serius di depannya.
Yuya sudah SMA. Kelas 2. Dan sejauh yang kutahu dia cukup populer di antara teman-teman seangkatan maupun adik kelas dan kakak kelasnya. Dia tampan. Dia pintar. Dia ramah. Dia sopan. Dia anak yang baik. Anakku satu-satunya.
Anakku yang pada tahun-tahun pertama kehidupannya sangat kubenci.
"Aku lapar," ucap Yuya setelah sekitar tiga jam menekuri monitor Macbook. "Hika lapar tidak? Akh...kau tidur ya? Gomen1..."
Aku membuka sebelah mataku. "Ada puding di kulkas..."
"Aku membangunkanmu ya? Maaf..."
"Tidak... Aku sudah bangun sejak lima menit lalu..."
"Hum...puding tidak membuatku kenyang. Aku mau membuat spageti. Kau mau?"
"Puding saja. Ukuran kecil..."
"Hika belum makan dari pagi lho... Tadi pagi cuma setengah mangkuk sup tofu..."
"Puding saja..."
"Hika kan sedang menstruasi... Dari buku yang aku baca, dalam kondisi seperti ini tubuh memerlukan asupan makanan yang lebih banyak. Apalagi kondisi Hika ini khusus... Makanya..."
"Puding saja."
"Kubuatkan salad ya?"
"Aku mau tidur saja."
"Ya...kok ngambek sih? Iyaaaaa kuambilkan pudingnya." Yuya berdiri, setengah berlari menuju dapur, membuka kulkas dan terdengar beberapa bunyi termasuk gerutuannya. "Tiap bulan mengeluh sakit tiap bulan mengeluh lemas tidak kuat melakukan apapun sampai tidak masuk kerja bosan minum ramuan pereda rasa sakit tapi tidak mau makan. Makan makanan yang menyehatkan kan apa salahnya..."
Dia masih mengoceh selama beberapa saat lalu berhenti tiba-tiba saat kembali dengan sepiring kecil puding dan segelas jus jeruk dan menemukanku duduk tegak di sofa dengan ekspresi kesal.
"Aku...tersinggung," kataku pelan namun tajam.
Yuya terdiam selama beberapa saat. Meletakkan piring puding dan gelas jus di meja di hadapanku. Lalu menghela napas. "Aku tidak bermaksud menyinggung," katanya. "Hanya saja...Hika selalu seperti ini..."
YOU ARE READING
KARENA CINTA ... (SHORT STORY ANTHOLOGY)
Short StoryBerisi kisah-kisah pendek yang saya tulis sejak lama. 1. Tatyana Diikutkan dalam sayembara Nulisbuku dengan tema Kasih Tak Sampai dan masuk ke dalam 100 cerita terpilih (diterbitkan di buku kedua, kalau tidak salah). 2. Langit Itu Tetap...