Kertas di tangannya bergoyang. Bukan karena angin yang menyelinap masuk melalui jendela yang terbuka lebar. Juga bukan karena getaran bumi yang kerap terjadi di wilayah tempatnya tinggal. Kertas itu bergoyang karena tangan yang memegangnya gemetar.
Semakin lama lelaki itu memandangi kertas di tangannya, semakin hebat kertas itu bergoyang. Ia tak mampu menghentikan getaran tangannya. Padahal ia punya cukup tenaga untuk melakukannya. Ia makan banyak seharian itu, karena suasana hatinya riang sepanjang hari. Asupan kafein dan nikotinnya pun terpenuhi. Tak ada yang salah dengan dirinya. Selain sebuah rasa asing yang menelusup di hatinya.
Rasa yang dalam tiga puluh tahun hidupnya tak pernah dia alami. Rasa yang perlu waktu baginya untuk mengidentifikasi jenisnya. Rasa itu seperti campuran kesedihan dan kemarahan. Juga kesal luar biasa. Dan tidak berdaya.
Rasa itu... Dia mencari dalam kolom ingatannya. Dan menemukannya setelah lama mencari.
Penyesalan.
Nama rasa itu penyesalan.
Kertas itu masih bergoyang. Tangannya masih gemetar. Kali ini bahkan bukan cuma tangannya yang gemetar, melainkan seluruh tubuhnya. Dan ada tetes-tetes air yang mulai mengalir di kedua pipinya, jatuh dan membasahi jemari yang masih gemetar.
Suara tangisnya terdengar pelan. Lalu semakin keras dan keras dan memenuhi seluruh ruangan, mengalahkan bunyi dengung AC di salah satu dinding.
Tangan kirinya, yang masih gemetar, mengelus lembut permukaan kertas, pada tulisan dari pensil warna biru yang sangat dikenalnya.
Kepada seseorang yang kucintai.
Kalimat pertama yang tertera di kertas gambar ukuran A3 itu ditulis dalam huruf sambung yang anggun, dengan ekor yang cukup panjang pada huruf g dan y. Dan diakhiri gambar hati yang sedikit miring.
Lelaki itu menarik napas, menyedot air mata yang keluar lewat lubang hidungnya. Setelah mengerjapkan mata yang basah beberapa kali, ia kembali menekuri kertas di tangannya.
Untuk yang kesekian kalinya ia membaca pesan yang tertulis di sana.
Kepada seseorang yang kucintai.
Yaitu kamu. Dan hanya kamu.
Tapi... kalau saat ini ada orang lain bersamamu yang memandangimu dengan wajah khawatir, tolong hentikan. Jangan pernah membaca pesan ini.
Kepada seseorang yang kucintai.
Maaf karena telah banyak membebanimu.
Bahkan mungkin sampai saat ini pun aku tetap saja membuatmu repot.
Maaf.
Tapi tolong jangan bersedih untukku.
Tetaplah jadi dirimu.
Tetaplah mengejar mimpimu. Sampai kau tak sanggup berlari lagi.
Kamu akan tetap jadi yang kucintai. Karena itu, lihatlah esok dengan tersenyum. Dan jangan pernah berpaling lagi ke belakang.
Aku hanya potongan masa lalu. Tapi aku akan tetap di sini, di sampingmu, bersamamu. Selalu.
Sampai saat aku terlahir kembali nanti.
Jika saat itu tiba aku ingin melihat senyummu lagi.
Suara tangisnya terdengar semakin keras. Rintihan berubah menjadi erangan lalu jeritan putus asa. Dan rasa penyesalan dalam dadanya semakin membuncah.
Seandainya... Seandainya... dia tak memalingkan wajah saat itu. Seandainya dia tak hanya mengucap "Jaga dirimu." saat dilihatnya wajah pucat istrinya beserta sebuah kalimat "Aku baik-baik saja." yang diucapkan dengan senyum lembut. Seandainya dia melupakan mimpinya sejenak. Seandainya ia mau berhenti sesaat untuk sekadar melihat sekelilingnya, memperhatikan wanita yang lima tahun ke belakang ini selalu bersamanya. Seandainya ia tak terlalu egois untuk menolak pulang sebentar ketika seorang kerabat memberi kabar wanita yang menjadi istrinya itu kolaps dan mesti dirawat di rumah sakit hanya karena mimpinya akan menjadi nyata tak lama lagi.
Seandainya...
Ada terlalu banyak seandainya.
Dan semua seandainya itu menekan dadanya, membuat paru-parunya seolah berhenti bekerja. Sesak. Dan sakit.
Dan penyesalan itu membungkus dirinya semakin erat.
Seminggu yang lalu, di pemakaman, saat peti berisi tubuh kaku istrinya mulai ditutupi tanah merah, ia tak merasakannya sama sekali, rasa sesal itu. Hanya sedih. Rasa yang lumrah terbentuk ketika kau kehilangan seseorang.
Kemudian rasa itu perlahan menghilang. Terutama saat mimpinya untuk menaklukan puncak-puncak tertinggi di muka bumi mulai mendekati nyata.
Hari ini ia dijadwalkan untuk berangkat ke Nepal bersama beberapa orang lain. Ia pulang dengan hati riang dan mulai mempersiapkan segala kebutuhan untuk pendakian ketika tak sengaja menemukan sebuah kotak bekas biskuit di sudut lemari pakaian. Kotak harta karun. Begitu istrinya menyebutnya. Namun tidak ada benda yang dapat dinilai dengan banyak uang di dalamnya. Isinya hanya sebuah bros berbentuk kupu-kupu dengan satu sayap patah (hadiah pertama yang diberikannya pada sang istri), gelang manik-manik dari gelas warna-warni yang memantulkan cahaya (oleh-oleh dari salah satu tempat bulan madu mereka di India), dan sebuah kertas gambar ukuran A3 yang dilipat berulang kali. Sebuah kertas yang telah memunculkan rasa yang tak pernah dirasakan seumur hidupnya.
Tangannya masih gemetar. Dan air terus mengalir dari matanya. Dan sesal tak mau lepas dari dadanya.
Kertas itu lepas dari genggamannya. Tergeletak pasrah di lantai kamar yang dingin, menampilkan sisi belakang yang bersih tanpa tulisan selain satu baris kecil di sudut kanan bawah:
P.S. I LOVE YOU
Cerita ini terinspirasi oleh single paling baru dari Gackt dengan judul P.S. I LOVE U
Bandung, 15 Februari 2014
22.50
YOU ARE READING
KARENA CINTA ... (SHORT STORY ANTHOLOGY)
Short StoryBerisi kisah-kisah pendek yang saya tulis sejak lama. 1. Tatyana Diikutkan dalam sayembara Nulisbuku dengan tema Kasih Tak Sampai dan masuk ke dalam 100 cerita terpilih (diterbitkan di buku kedua, kalau tidak salah). 2. Langit Itu Tetap...