Jo Wilder merapatkan mantelnya. Sudah memasuki minggu kedua Mei namun suhu siang ini masih berkisar antara 15-16 derajat Celcius. Dipandanginya jam besar yang tergantung anggun di langit-langit Glasgow Central Station, menatap angka-angka yang tercetak di sana. Pukul 11.58.
Hidungnya yang terpahat tinggi di wajahnya menghela udara. Sudah sepuluh tahun berlalu sejak ia meninggalkan Jepang di tahun 1991. Dan sudah sepuluh tahun pula mereka tak bersua. Anak itu, Jo menghitung dengan jemarinya yang mulai kisut karena udara dingin, pasti sudah besar. Kalau tidak salah, Oktober nanti dia akan berusia 19 tahun.
Bagaimana rupanya sekarang?
Jo mengedarkan pandang ke seluruh lobby Glasgow Central Statsion, menatap setiap wajah yang dapat dilihatnya, dan tak menemukan seorang pun yang dikenalinya.
Seingat Jo, anak itu punya wajah yang mirip dengannya. Hidung yang tinggi, bibir tipis dengan ujung-ujung meruncing, dan mata hijau terang.
Akh! Jo menyentakkan kepalanya ketika suatu ingatan menyeruak benaknya. Tidak. Mata Akihide, anak itu, punya dua warna yang berbeda antara kiri dan kanannya. Hijau terang seperti yang dimiliki Jo dan hitam mengilat seperti milik ayahnya. Jo tidak ingat yang mana yang hijau, yang mana hitam. Jo hanya ingat bahwa dia sangat—sangat—menyukai warna mata Akihide itu. Heterochromia Iridium. Sangat langka.
Dan... kalau dia tidak salah mengingat, Akihide pun sangat menyukai warna matanya itu.
Sekali lagi Jo menatap jam besar itu. Seharusnya dia sudah tiba. Sepuluh menit telah berlalu sejak jadwal tiba kereta Virgin Trains dari Euston, London. Tapi... Jo memanjangkan leher. Mencari sosok yang... Jo termangu. Dia tidak tahu seperti apa rupa Akihide saat ini.
Selama ini mereka berkomunikasi lewat surat dan Jo tak pernah meminta Akihide untuk mengirimkan fotonya. Anak itu pun tak pernah berinisiatif untuk mengirimkan foto dirinya. Jo menghela napas. Ah... anak itu bahkan sangat jarang membalas suratnya. Kalaupun membalas, perlu waktu yang sangat lama.
Jo tahu. Selama sepuluh tahun ini Akihide membencinya. Suratnya selalu berisi jawaban-jawaban standar dari pertanyaan-pertanyaan Jo dan cerita yang juga standar. Jo hampir tak pernah merasakan emosi terpancar dari setiap huruf dan kata yang tertulis di setiap surat Akihide.
Jadi... adalah suatu keajaiban ketika di surat terakhirnya, empat bulan yang lalu, Jo meminta Akihide mengunjunginya dan mendapatkan jawaban ya dengan kalimat penutup: tapi aku tidak punya cukup uang untuk melakukan perjalanan sejauh itu.
Jo yang membiayai semuanya. Tiket pesawat dari Haneda, Tokyo ke Heathrow di London. Juga tiket pesawat dari Heathrow ke Glasgow Airport. Hanya butuh kurang dari satu jam perjalanan. Tapi Akihide memilih perjalanan dengan kereta. Dan itu menghabiskan waktu sekitar empat jam tigapuluh menit.
Jo mengusap kedua telapak tangannya yang semakin dingin. Dia melupakan sarung tangannya karena pergi terburu-buru tadi. Jo terlalu asyik dengan pot-pot tanamannya sampai tidak menyadari waktu terus berjalan, dan saat sadar dia langsung berlari panik ke tempat parkir untuk segera membawa mobil tuanya melaju menuju stasiun.
Dia akan berjumpa dengan anak pertamanya, anak dari lelaki Jepang yang pernah sangat dibencinya.
Jo mulai gelisah. Jarum jam sudah menunjuk angka 1 dan anak itu belum muncul juga. Mungkinkah... sesungguhnya dia sudah di sini namun tak mengenali Jo...?
Aaahh... Jo merasa sangat bodoh. Seharusnya dia membawa papan tanda atau sejenisnya. Atau memberitahu Akihide bahwa dia memakai mantel merah ceri, warna kesukaannya. Atau berdiri di gerai tertentu. Meski merasa tidak banyak perubahan pada dirinya, namun sepuluh tahun bukan waktu yang sebentar. Mungkin saja ingatan Akihide tentang dirinya semakin pudar, sepudar ingatannya tentang anak itu.
YOU ARE READING
KARENA CINTA ... (SHORT STORY ANTHOLOGY)
Short StoryBerisi kisah-kisah pendek yang saya tulis sejak lama. 1. Tatyana Diikutkan dalam sayembara Nulisbuku dengan tema Kasih Tak Sampai dan masuk ke dalam 100 cerita terpilih (diterbitkan di buku kedua, kalau tidak salah). 2. Langit Itu Tetap...