Sakit Hati -Diana-

3.8K 103 16
                                    

Tok..tok..tok..

“Di, makan malam dulu yuk. Lo baru makan sekali doang lho hari ini,” suara lembut Emmy kembali terdengar diiringi dengan ketukan pintu yang tak beraturan.

Aku diam tak mengacuhkan panggilan Emmy. Sudah hampir seminggu aku bergalau ria –ugh terdengar sedikit menggelikan. Diana galau? Menyedihkan! Tapi itu memang benar, aku benar-benar menyedihkan saat ini. setelah kejadian di kantor Kak Eza, aku bertekad tidak akan menghubunginya sekali pun. Aku berharap ia akan menghubungiku lebih dulu, karena menurut Emmy jika Kak Eza setidaknya sudah –mulai- mencintaiku , ia akan merasa kehilangan dan pasti akan mulai menghubungiku. Tapi! Ini sudah hampir seminggu dan tetap tidak ada perkembangan! Huaaa----- bundaa!! Anakmu galau akut!

“Diana makan dulu lah, nanti kalo lo kurus gimana?” Emmy masih dengan setianya membujukku dengan kata-kata yang tidak pantas digunakan untuk membujuk. Walaupun begitu, ia sahabatku yang terbaik. Ia selalu menemaniku selama aku galau, memberi ‘wejangan ala Emmy’. Bahkan, ia kini tinggal bersamaku di flat. Alasan utamanya sih sebenarnya agar menghemat biaya transportasi. Sial memang!

“Diana, makan yuk. Jangan galau aja, kaya anak SMA aja deh.” Lihat, Emmy tak berhenti-hentinya membujukku. Tak tahukah dia, orang patah hati itu sama sekali tidak berminat untuk melakukan apa-apa. Hanya ingin menangis sepanjang hari! Rrrrrrr aku benar-benar terlihat menjijikan. Tuhan tolong aku.

“DIANA!! Heh makan gak lo. Gue gak mau ya lo jadi kaya gini cuma karena dosen itu! Kalo lo kayak gini terus lo bisa sakit, kalo lo sakit lo bisa meninggal kapan aja! Dan kalo lo meninggal, gue yang repot mau buang mayat lo dimana. Cepet keluar!!” kali ini Emmy benar-benar mengeluarkan emosinya, sambil terus mengetuk--- atau lebih tepatnya menggedor pintu kamarku. Ugh Emmy! Aku masih mengontrak disini! Ia benar-benar sahabat paling sadis. Dimulai dari cara yang paling lembut, lalu secara bertahap sampai ditingkat paling sadis. Yah, seperti yang ia katakan barusan. Sadis sekali bukan?!

Karena takut dengan keadaan pintu kamarku yang bisa hancur oleh Emmy kapan saja dan juga dengan ancaman-nya yang  akan membuang mayatku jika aku meninggal, akhirnya aku pun keluar dari persembunyianku selama ini. Tepat saat pintu terbuka, Emmy berdiri dihadapanku sambil berkacak pinggang. Emmy memasang wajah sangarnya yang luar biasa seram melebihi para preman di Tanah Abang. Aku menunjukan wajah cemberutku, Emmy balas memutar kedua bola matanya malas.

“Makan dulu, nanti lo boleh cerita lagi sama gue. Se-mu-a-nya.” Kalimat Emmy penuh dengan penekanan. Fiuhhhh.

“Iya Oma,” sahutku tak acuh. Secara tidak langsung, sikap Emmy saat ini mirip dengan Oma-ku yang sudah meninggal saat aku SMP. Sangat cerewet namun sangat penyayang.

Kami pun makan malam bersama. Satu hal yang harus diketahui, Emmy sangat pandai memasak. Walaupun ia terlihat –agak- tomboy tapi saat menyentuh dapur, sosok keibuan yang penuh kelembutan terlihat dengan jelas. Seperti saat ini, semua makanan Emmy benar-benar membuatku bahagia. Tapi sepertinya hanya bertahan sebentar. Aahh beruntung sekali yang akan menjadi suami Emmy nanti, setiap hari akan menikmati masakannya. Aku sendiri pun sebenarnya bisa memasak, namun belum semahir Emmy yang sudah layak menjadi koki handal. Tapi, Emmy selalu mengatakan bahwa masakan buatanku pun sangat enak. Entahlah ia berbohong atau tidak. Yang penting, itu membuatku senang.

“Sekali lagi gue liat lo ‘bertapa’ di kamar, gue bakal bakar kamar lo!” ancam Emmy berapi-api. Huftt, Emmy ini benar-benar unik. Dia bisa merubah emosi secepat kilat. Biasanya Emmy selalu terlihat ceria dan kekanakan, namun jika sedang dalam kondisi marah seperti ini, ia menyeramkan.

            “Terserah lo, tapi lo harus tanggung jawab sama yang punya flat ini.” Sahutku tak peduli. Huh Emmy ancamannya gak mutu, ya kali dia mau bakar kamarku?! Bakar kamarku sama saja dia ngebakar seluruh flat ini.

My LectureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang