Siapa Dia? -Eza-

3.5K 106 12
                                    

Hai, kamu kemana saja? sudah lama kita gak ketemu.

Aishhh tidak tidak. Delete

Diana kamu kemana saja? aku ingin bertemu.

Ugh terlihat menggelikan. Delete.

Hai mana bekalku? Sudah seminggu kau tak memberiku bekal.

Terkesan seperti memarahi pembantu. Delete.

Hai Diana, kemana saja kamu? Kenapa kamu tiba-tiba menghilang?

Ohh tidak tidak. Delete.

Hai Diana, aku merindukanmu.

Ohhhh no. Delete.

Aku memandang ponselku bingung, entah sudah keberapa ratus atau mungkin ribuan kalinya aku terus menerus mengetik pesan untuk Diana. Namun tak kunjung ku dapatkan kata-kata yang pas. Bagaimana ini?! apa aku harus menunggunya untuk mengirimiku pesan? Tapi ini sudah seminggu dan tak ada satu pesan pun yang kuterima, kemana dia?! Saat dikampus pun aku tak melihatnya dan aku pun terlalu malu untuk bertanya-tanya mengenai dirinya. Seperti kata pepatah, malu bertanya sesat dijalan dan itu benar aku malu untuk menanyakan soal Diana sehingga aku tersesat didalam pikiranku sendiri. Memikirkan gadis itu, memikirkan anak itu. Bahkan saat kelasku pun, ia tak masuk. Ia kehilangan satu pertemuan denganku, walaupun itu tidak terlalu berdampak serius.

Aku melempar ponselku ke atas meja, tak peduli jika benda canggih itu rusak. Ini sudah satu minggu dan Diana tetap tak ada kabar, sebenarnya ada apa? Kenapa anak itu berubah? Apa dia sudah tidak tergila-gila lagi padaku? Tapi… itu tidak mungkin. Sepertinya.

Biasanya, jika orang jatuh cinta maka segalanya akan diperintahkan oleh hati. Bahkan otak pun terasa tak berfungsi. Hati mengalahkan otak, begitu orang menyebutnya. Namun untuk kasusku sekarang, ego yang mengalahkan hati dan otak. Egoku terlalu tinggi, bahkan hanya untuk menghubunginya.

Walaupun tak bisa kubohongi, aku membutuhkannya ----kurasa.

“Hello dude,” sebuah sapaan membuyarkan pikiranku tentang Diana. Denny memasuki ruanganku tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Dengan santai ia langsung duduk di sofa dan memakan beberapa camilan yang ada di atas meja. Tidak Daniel, tidak pula Denny, mereka berdua sama saja.

“Ada urusan apa lo datang kesini?” tanyaku acuh tak acuh. Sambil mengambil kembali poselku yang tadi kulempar, aku menyimpannya dalam saku celanaku setelah melihat tak ada kelecetan pada benda mahal tersebut. Bagus.

“Main aja sih. Oh ya, omong-omong katanya Gina kesini? Emang iya?” tanya Denny penasaran. Oh ayolah, apa segitu pentingnya berita mengenai Gina yang datang ke kantorku?

“Iya,” sahutku singkat sambil melangkah mendekati kulkas di pojok ruangan dan mengambil dua kaleng coke untukku dan Denny.

“Thanks,” ucap Denny sambil mengambil minuman bersoda tersebut. “Ada urusan apa dia kesini?” tanya Denny lagi. Aku yang sedang sibuk meminum minumanku, terdiam sesaat.

“Gak tau gue juga, tapi kayanya dia mau gue balik lagi ngejar dia kaya dulu.” Ucapku tanpa keraguan, namun memang seperti itu kesan yang kutangkap dari wajahnya. Ia seolah berharap aku kembali mengejar-ngejarnya seperti dulu.

“Terus?”

“Gue bilang kalo gue udah punya partner,” jawabku. Mata Denny membesar mendengar jawabanku, seolah berkata ‘lo serius?’

“Lo serius?” tuh kan tebakanku benar. Denny pasti mengatakan pertanyaan itu. well, mungkin aku bisa jadi peramal.

“Iyalah, lagi pula gue emang udah gak punya rasa apa-apa sama Gina.” Ucapanku terdengar begitu meyakinkan. Ajaib.

My LectureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang