Mencoba agar Terbiasa -Diana-

4K 91 14
                                    

‘Cause everytime I breathe I take you in

And my heart beats again

Baby, I can’t help it

You keep me drowning in your love

(Backstreet boys – Drowning)

Delapan belas…

Sembilan belas…

dua puluh…

hmmm pas hari ini.

Tiga minggu!

Yap, tiga minggu sudah aku menjadi kekasih Kak Eza. Walaupun aku tetap belum menemukan tanda bahwa Kak Eza mencintaiku, yah gimana mau cinta? Suka pun belum kelihatan. Kak Eza tetap menjadi Kak Eza, cuek dan dingin walaupun sedikit lebih peduli padaku. Mungkin karena status kami? Entahlah, aku tak yakin soal itu. Namun, aku masih percaya kalau ‘cinta datang karena terbiasa’. Satu hal yang harus kulakukan saat ini hanyalah sabar.

            Aku melingkari tanggal hari ini dengan spidol orange-ku dan menulis note kecil dibawahnya : ‘masih sama’. Yap, masih sama. Kak Eza masih sama seperti dulu, huaaaa-----.

Hufttt, sabar Diana sabar.

Aku mendengarkan lantunan lagu yang diputar oleh ponselku, sambil melamun mengenai semuanya. Tiga minggu terlewati tanpa ada perubahan yang signifikan, ironis sekali. Sambil melamun pula, aku menatap miniatur Tugu Khatulistiwa dan Rumah Betang yang berada dibalik tempat kaca. Ada hiasan lampu dibagian depannya, sayang lampunya belum menyala. Aku pun menyambungkan kabel yang  berada di belakang tugu ke dalam saklar dan bingo ! lampunya menyala,memancarkan warna orange tipis yang membuat Tugu Khatulistiwa dan Rumah Betang menjadi lebih cantik. Miniatur tugu ini merupakan hadiah ulang tahunku yang ke-17 tahun, Reno –kakak ku- yang membelikan untukku. Kakak tercintaku itu dulu  memang bersekolah di sekolah pelayaran, dan ia membelinya saat ia berlayar ke Pontianak-Kalimantan Barat. Sekarang ini, ia pun sedang berlayar lagi, setahuku ia berlayar ke pulau Bangka. Kini ia menjadi seorang Pelaut, seperti cita-citanya.

“My, menurut lo Kak Eza nerima gue karna apa?” tanyaku pada Emmy yang sedang sibuk menonton video di you tube. Pandanganku sendiri tetap terarah pada miniatur Tugu Khatulistiwa dan Rumah Betang di hadapanku. Saat ini, kami sedang berada di flat-ku, bermalas-malasan di hari libur. Beruntung hari ini jatahku libur di café.

“Hmm, sebenernya itu yang lagi gue pikirin. Apa mungkin taruhan?” tebak Emmy langsung, tanpa ragu sedikitpun. Namun, pandangannya tetap tak lepas dari video konser sebuah boyband asal Irlandia –Westlife- yang sedang dilihatnya melalui layar laptop-nya.

“Sumpah FTV banget,” sahutku malas walaupun sedikit mempertimbangkan ucapan Emmy juga. Sepertinya benar.

“Ya terus apa?” jawab Emmy langsung, aku terdiam. Jeda lima detik, Emmy menekan tombol pause dan memutar tubuhnya menghadapku yang masih sibuk memandang tugu-ku.

“Coba deh, Pak Eza nerima lo tapi dia gak nunjukin rasa sukanya sama lo. Ini udah minggu ketiga lho, kalian pacaran kan?” Emmy menatap wajah ku dengan wajah serius, aku mengangguk tipis.

“Yaa itu sih cuma perkiraan aja Di,” tambah Emmy lagi. Aku mencabut kembali kabel yang terhubung dengan saklar, membuat lampu tersebut tak lagi memancarkan sinar orange-nya. Lagi pula aku juga harus hemat listrik.

“Kalo emang gue bahan taruhan, pasti suatu saat Kak Eza bakal mutusin gue kan?” tanyaku, entah kenapa firasatku mengatakan hal seperti itu. Kedengarannya menyakitkan.

My LectureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang