"Si..! Be..! Ugh.." Kara menggertakkan gerahamnya kuat-kuat. Menelan kembali makian kasar yang sudah mencapai ujung lidahnya. Seumur-umur ia tak pernah memaki, dan tak akan sudi merusak mulutnya dengan kebiasaan tak beradab itu sekarang.Kenapa Kara bersedia datang ke sini? Terjebak di keramaian kelab malam dengan ingar bingar suara musik yang berdentam memekakkan telinga. Belum lagi lighting effect yang membuat matanya seolah dihantam jutaan cahaya laser dan neon yang mengaburkan pandangannya.
Selain itu banyaknya orang yang berada di sini membuat Kara kesulitan melewati mereka tanpa menyentuhnya. Untung saja ia sudah sangat ahli menghindari sentuhan. Kara juga beruntung menemukan tempat duduk yang agak sepi di depan meja panjang bartender.
Kara meremas botol air mineral yang sengaja dibawanya karena tahu di tempat ini tak akan menyediakan minuman selain minuman beralkohol. Ia tak pernah tertarik mencicipi minuman yang membuat semua orang di area lantai dansa, bergoyang setengah sadar. Termasuk Rian. Laki-laki yang memaksanya datang ke sini karena untuk merayakan ulang tahunnya.
Kara mendesah sambil melirik malas pada gelas bir kelima yang diterima pria asing yang duduk di sampingnya. Sepertinya pria itu memiliki masalah pribadi yang cukup berat karena sedari tadi hanya diam dan tertunduk lesu sambil meneguk birnya pelan-pelan. Pria itu hanya akan mengangkat kepalanya saat gelas birnya habis.
Tatapan Kara tertuju pada Rian. Satu-satunya laki-laki yang lima tahun ini tahan berada di sisinya. Mereka mulai kenal saat hari pertama masuk kuliah. Mereka satu fakultas, satu jurusan, satu prodi. Berangkat dan pulang kuliah bersama, mengerjakan tugas bersama, bolos bersama, bahkan tema skripsi yang mereka ambil pun sama sampai akhirnya mereka lulus dan wisuda bersama.
Bertahun-tahun bersama, Rian tak pernah membahas sesuatu secara khusus tentang hubungan mereka. Tapi laki-laki itu perhatian, dan tampak tulus menyayanginya. Sesuatu yang membuat Kara percaya jika mereka memiliki ikatan yang bisa dikategorikan sebagai hubungan romantis.
Hanya saja sepertinya Kara salah besar kala panggilan sayang yang pertama kalinya keluar dari mulut Rian, malah tidak ditujukan padanya. Kehadiran Ranti di antara mereka sejak semester pertama kuliah magister dimulai, seolah menjadi bukti bahwa ikatannya dengan Rian ternyata tak sepersonal yang Kara pikirkan.
Lima tahun berteman sangat dekat dengan seorang pria, semakin menegaskan jika Kara hanyalah wanita dingin yang tak tahu caranya memperlakukan pria. Berbeda dengan Ranti yang sepertinya tahu betul cara membuat Rian tertawa. Laki-laki itu tak pernah tertawa sebanyak sekarang selama bersamanya.
"Astaga! Ternyata aku memang sebodoh itu.." gumam Kara.
Tatapan Kara kembali terfokus pada Rian yang kini merengkuh erat kekasihnya, menyatukan kening mereka, serta memandu langkah mengikuti alunan musik yang telah berubah lembut dan romantis.
Cemburu? "Hmmm.. Sedikit." Kara menjawab pertanyaan yang tercetus begitu saja di benaknya.
Sakit? "Hmmm.. Mungkin" jawabnya lagi.
Kara cukup cerdas untuk menyadari jika hatinya sakit bukan karena ia mencintai Rian, tapi karena ia harus menjaga jarak dengan laki-laki itu demi menjaga perasaan Ranti.
Menjaga jarak dengan pria setelah lima tahun bersahabat, rasanya memang sulit. Terutama saat Kara sudah merasa sangat nyaman dan terbiasa dengan kehadiran Rian di sisinya.
Kara tersenyum tipis saat melihat Ranti mendekat. Penampilan Wanita itu sangat berbeda dari biasanya. Mini dress berwarna biru elektrik yang dikenakannya, mencetak jelas keindahan fisik Ranti secara akurat. Jauh berbeda dengan jins biru pudar serta kemeja putih Kara yang membosankan. Untung saja ia telah membuka semua kancing kemejanya sehingga menampakkan kamisol berendanya yang tak kalah menggoda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Touched by Love (Revisi)
Romance💓 Cerita Ke- 8 Bertemu kembali dengan pria tak dikenal yang telah ia manfaatkan habis-habisan, adalah kesialan yang tak pernah Karenina Mahendradatta kira bisa menimpanya. Pria yang belum ia ketahui namanya itu, muncul secara tak terduga setelah ke...