Aku berjalan menuju kelas sambil mengatur napasku. Hari ini aku terlalu bersemangat mengayuh pedal sepedaku hingga ngos-ngosan. Buru-buru maksudnya. Fyuhh! Bagaimana tidak? Lima belas menit sebelum jam masuk sekolah aku baru berangkat dari rumah, menempuh jarak kurang lebih empat kilometer. Beruntungnya gerbang sekolah masih terbuka. Ya, beruntung! Jika tidak, siswa yang terlambat akan menerima hukuman sebelum masuk kelas.
Tett tetttt...
Aku sampai di depan kelas bertepatan dengan bunyi bel. Sesampainya di bangku, kulepaskan jaket yang kupakai, melipatnya, dan memasukkannya ke dalam laci meja. Widya, Lina, dan Dinda menoleh ke arahku bersamaan. Melihatku meneguk air dalam botol minumku.
“Ya ampun, Nay!”
“Hehehe,” aku meringis, sambil memperlihatkan gigiku.
“Kenapa Nay?” tanya Dini menghampiriku.
“Gapapa, lagi gerah aja. Hehehe.”
“Jelas aja, sampai seragammu basah kena keringat gitu,” sahut Arga dari belakang.
“Hei!” aku agak terkejut dengan ucapan Arga hingga langsung menoleh ke arahnya sambil melolot.
Dini terkekeh lalu berjalan ke depan papan tulis, meminta perhatian kami, yang membuatku memutar posisi duduk kembali sambil tetap mengayunkan buku yang kujadikan kipas. Tadinya aku membelakangi papan tulis di depan yang menghadap kami semua, agar keringat yang membasahi sebagian seragam pramukaku di bagian punggung tak terlihat teman-teman di belakang. Sekarang aku sudah mengubah posisi dudukku seperti semula untuk melihat Dini yang sepertinya akan menyampaikan pengumuman.
Dini mengumumkan jika bu Yuni tidak datang hari iki karena ada tugas di luar sekolah. Pengumuman itu tentu saja membuat kami bahagia. Terutama kebanyakan teman di bangku belakang yang didominasi laki-laki, Mereka memamerkan ekspresi bahagianya dengan ricuh. Tapi Dini belum selesai dengan pengumumannya.
“Kita ada tugas dan harus dikumpulkan hari ini,” tambahnya. Kami para penghuni kelas pun pasrah akhirnya. Ya bagaimana lagi? Namanya juga sedang sekolah. Belajar, mengerjakan tugas itu hal biasa kan?
Tiba-tiba Dini menghampiriku sebelum kembali ke tempat duduknya, setelah menulis instruksi tugas bahasa Indonesia di papan tulis yang harus kami kerjakan.
“Nay,”—aku mendongakkan wajahku, menganggkat kedua alisku mengisyaratkan tanya ‘apa?’—“kapan-kapan kita gowes bareng yuk?” ajak Dini.
“Boleh,” jawabku sambil tersenyum.
“Gimana kalau minggu ini?” usul Dini.
“Ke mana emang?”
“Rumahmu di mana sih?” tanya Dini balik, dan kulontarkan jawaban yang diinginkan dengan menjelaskan alamat rumahku.
“Oh di daerah situ? Apanya rumah Reta?” tanya Arga masuk dalam pembicaraan. Ternyata dia menyimak dari tadi?
“Kok kenal Reta?” tanyaku balik, mengingat bahwa Reta adalah tetanggaku.
“Iya, dari Meita.”
Bibirku membentuk huruf ‘O’ tanda mengerti atas jawaban Arga, serta mengingat bahwa Reta dan Meita dulu satu kelas waktu SMP.
“Kalau rumah Reta kan di perempatan situ belok kiri, kalau rumahku nggak sampai perempatan situ,” jelasku kemudian.
“Kalian mau ikut?” tanya Dini pada Widya, Dinda, dan Lina.
“Nggak ada sepeda di rumah,” jawab Dinda.
“Pengen sih, tapi kapan-kapan deh aku main ke rumahmu Nay,” Lina menanggapi. Begitu pun Widya yang menolak karena hari Minggu adalah waktunya bersih-bersih rumah, katanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Grey Memory
Teen FictionTidak hanya kisah masa putih abu-abu, melainkan kisah yang juga abu-abu. Lebih tepatnya 'kelabu'. Aku takkan lupa masa lalu tentang dirinya dan pemeran lain dalam skenario kala itu. Masa lalu yang memudar, tapi menyisakan penyesalan bila diingat. Se...