Sesungguhnya, apa yang kuraih hari ini semua itu karena kamu dimasa itu. Jika bukan karena kamu aku tidak dapat membayangkan masa seperti apa yang kujalani hari ini. Hari itu setelah kita memutuskan untuk berpisah, aku kira semua akan baik-baik saja namun ternyata tidak ada yang baik. Aku tidak baik-baik saja tanpa kamu, aku hanya mencoba baik tanpa kamu. Dan sungguh aku tidak suka bersikap seolah semuanya baik-baik saja tanpa kamu.
Melihat kamu berjalan dikoridor sekolah tanpa bisa aku sapa, melihat kamu berjalan pulang sendirian tanpa bisa aku ikuti. Semua hal itu membuatku merasa frustasi. Apa yang harus aku lakukan? Apa yang sudah aku lakukan?
Aku ingin kembali Vania. Aku ingin tetap bersamamu.
Berhari-hari berlalu dan ujian akhir juga semakin dekat. Aku dan Vania semakin menjauh, tidak ada lagi satupun diantara kami yang diam-diam saling memperhatikan. Kami dibuat benar-benar sibuk oleh jadwal siswa tingkat akhir. Meskipun begitu bukan berarti aku sudah melupakan Vania seutuhnya, sebaliknya aku sudah menyiapkan rencana untuk membuat dia kembali. Sebuah rencana yang aku yakin tidak akan gagal.
Rencana yang menurutku saat itu sangat cemerlang namun sangat bodoh setelah aku pikirkan sekarang. Tentang Universitas yang Vania inginkan aku juga akan mendapatkannya. Aku akan berada dimana Vania berada. Aku tahu hal itu sedikit mustahil mengingat aku tidak memeiliki otak yang begitu cemerlang namun bukan berarti aku bodoh, dengan usaha yang maksimal dan doa yang khusu sesuatu yang mustahil bisa saja mungkin. Tentu saja Vania tidak akan mengalami kesulitan dalam menjalani tesnya, dan pasti saja dia akan diterima. Oleh sebab itu aku harus belajar lebih giat, aku harus berusaha lebih maksimal. Aku tidak boleh main-main, aku akan mengagetkanmu. Sungguh saat itu aku tidak sabar melihat reaksi Vania saat mengetahui kami akan menghabiskan waktu bersama dinegeri yang jauh. Saat itu aku benar-benar bodoh!
Demi mewujudkan mimpiku kuhabiskan waktu untuk mengulang kembali setiap materi dari tahun pertama. Lebih sering mengunjungi perpustakaan dan meminta bantuan guru jika aku tidak mengerti akan sesuatu. Aku juga mengikuti les tambahan lebih banyak. Hari minggu yang biasanya kuhabiskan dengan bersantai atau bermain bola sekarang lebih kugunakan untuk belajar. Orang tuakupun sampai kebingungan melihat perubahanku yang cukup drastis. Sebagai orang tua yang baik mereka mendukungku, bahkan mereka lebih bersemangat lagi.
"Kak, ini ibu bukakan semangka. Dimakan, untuk menemani kamu belajar."
Ah ibu benar-benar tahu cara mendinginkan dicuaca yang panas.
"Kak hari ini ibu masak kesukaan kamu, jadi belajar yang giat yaa."
Wahh ibu selalu tahu cara menyemangati anaknya.
"Kak, besok mau ibu masakan apa?"
Kalau tahu seperti ini harusnya dari kemarin-kemarin aku belajar yang rajin. Ibu aku menyayangimu.
Hari yang ditunggu akhirnya tiba dengan berbekal uang seadanya dan doa dari seisi rumah aku pergi bertarung menyelasaikan semua soal yang membuat kepalaku hampir meledak. Beberapa soalnya memang hapir sama dengan yang aku pelajari selama ini. Namun peserta yang mengikuti diluar dugaanku, pesertanya jauh lebih banyak. Dimana Vania? Apa kamu bisa menyelesaikannya dengan baik?
Hasil tes tidak keluar hari itu juga, aku harus menunggu cukup lama untuk hasilnya. Sesekali aku melewati rumah Vania dengan sengaja namun aku tidak melihat dia disana. Rumahnya lebih sering tertutup. Vania dimana kamu?
Hasil tidak pernah menghianati usaha. Pepatah itu memang benar adanya. Setelah penantian yang cukup panjang sepucuk amplop putih berada tepat digenggamanku. Rupanya cuacapun mendukung mimpiku yang menjadi kenyataan. Didalam amplop putih itu terdapat sebuah kertas dengan banyak tulisan, namun hanya ada satu kata yang begitu jelas terlihat.
LULUS
Semua orang dirumah merasakan apa yang aku rasakan semua bahagia untukku untuk masa depanku. Dulu, dulu sekali jangankan untuk tinggal diluar negeri memikirkan tentang negara lainpun aku tidak pernah. Sekarang hal yang mustahil itu menjadi kenyataan. Aku benar-benar bahagia.
Ditengah kebahagian itu, aku berlari membelah cuaca yang begitu cerah. Ada yang harus yang kuberi tahu, ada yang harus kusampaikan, ada yang harus kudapatkan kembali. Vania, aku ingin.........
Kosong. Kosong. Kosong.
Rumah itu kosong. Tidak ada satupun orang didalamnya. Dari tetangga aku mengetahui jika semua penghuninya pergi keluar kota sejak minggu lalu dari tetangga juga aku mengetahui mereka mengantar Vania mengikuti ujian.
Ujian? Ujian apa? Ujian seperti apa yang dimaksudkan? Ada apa ini sebenarnya? Vania dimana kamu?
"Jadi tentang reuni itu kamu akan datang?"
Andara meletakan tangan disaku jaketnya. Cuaca pagi ini cukup dingin.
"Itu hanya sebuah reunian."
"Apa dia juga ada disana?"
Aku tahu siapa yang dimaksudkan dengan kata ganti 'dia', tapi aku bukan lagi aku yang sepuluh tahun lalu tidak mengerti apapun. Sekarang aku tahu yang harus aku jawab.
"Cuacanya cukup dingin, mau berpegangan tangan sampai stasiun?"
Andara yang awalnya sedikit manyun mulai menunjukkan sikap manjanya, meskipun bersikap seperti anak kecil nyatanya hal itu tidak membuatku kesal sama sekali.
"Jangan kalah dengan kenangan."
Ucapanya sesaat sebelum aku naik kekereta dan melaju meninggalkan Andara jauh dibelakang. Samar-samar masih dapat kulihat wajahnya yang beberapa tahun ini menemaniku. Tentu sja! Aku tidak akan kalah dengan kenangan. Tentang reuni itu apa aku harus datang?
Apa yang akan aku katakan saat bertemu dia?
Tidak ada jawaban yang aku temukan tentang hal itu. Terlebih alasan utamaku pulang bukan karena reuni akbar yang diadakan sekolah. Ada hal yang sangat penting yang ingin kusampaikan kepada orang tuaku tentang kelanjutan hubunganku dan Andara. Reuni itu sebenarnya aku tidak terlau berniat untuk datang. Jika harus disumpulkan menghindari seseorang, aku akan mengiyakannya.
Beberapa saat lalu, setelah aku mengetahui jika aku lulus namun aku tidak dapat menemui Vania, aku merasa sangat frustasi. Aku berpikir apa yang aku kerjakan selama ini sia-sia saja. Tujuanku utama ku mengikuti program itu untuk dapat kembali bersama Vania, sekarang jika Vania tidak ada, apa gunanya aku pergi? Itulah yang saat itu aku pikirkan, namun ketika pulang kerumah ketika melihat senyum bahagia ayah dan ibu serta kedua adikku, melihat mereka begitu gembira menyambutku sepertinya aku menemukan alasan lain untuk terus maju. Aku masih punya mereka, aku masih ingin melihat senyum mereka. Aku masih ingat betapa antusiasnya ibu bercerita kepada tetangga jika anak tertuanya akan menghabiskan empat tahun dinegeri rantau, aku juga ingat ayah bekerja lebih keras untuk mengumpulkan dana agar aku bisa memenuhi keperluan sebelum pergi lalu celoteh imut adik-adik yang terus terusan berkata, "Kami juga mau pergi, kami juga mau ikut."
Saat itu aku sangat bahagia juga sangat sibuk. Beberapa hari aku mulai tidak lagi memikirkan Vania, hari-hari ku mulai disibukkan dengan menyiapkan dokumen ini dan itu membeli berbagai macam keperluan pergi kesana kemari. Sungguh hari-hari yang cukup melelahkan. Tiba waktunya aku harus pergi untuk merantau, terlintas dibenakku untuk menemui Vania, untuk menanyakan alasan kenapa namanya tidak ada? Kenapa aku tidak dapat menemuinya selama ini? Semua ituw hanya ada dalam benakku, nyatanya aku tidak maju satu langkahpun meskipun hari itu kulihat pintu rumah Vania terbuka, aku tidak maju satu langkahpun meskipun aku yakin Vania ada disana.
Jika hari itu aku menemuimu apa hari ini kita masih bersama?