Sepenggal Cerita di Lampu Merah (2)

98 0 0
                                    


Namaku Vania, seorang jurnalis Koran harian dikotaku. Hari-hariku dihabskan dengan mencari berita atau duduk berhadapan laptop merangkai kata demi kata. Pekerjaan yang sangat aku cintai sejak dulu. Merangkai kata menjadi kisah, sesuatu yang sangat menyenangkan. Meskipun melelahkan dan sewaktu-waktu aku tidak bisa menikmati liburan karena harus tetap mencari berita,. Terlebih ketika hari besar keagamaan, jangan terlalu berharap mendapat liburan.

"Sebenarnya lo mau buat cerita apa sih?" Bea masih asik menikmati keripik kentangnya.

"Gue mau buat karangan yang bisa nyentuh perasaan pembaca."

Bea menyerengitkan dahi, "Iew. Sejak kapan lo melankolis?"

"Sejak gue suka mengamati."

"Sekalian aja lo jadi peneliti." Ledek Bea kesal.

Aku tergelak dibuatnnya. Kutarik paksa tangan bea membuatnya duduk disampingku. Beberapa lembar foto yang sudah kucetak sebelumnya berjejer rapi. Ini hasil pengamatan hari keduaku. Tempat yang sama seperti kemarin. Lampu merah. Entah mengapa aku tertarik menggali cerita disana.

"Foto apaan sih ini?"

"Lo liat baik-baik deh."

Bea memperhatikan dengan sesama namun tetap saja dia menggeleng diakhir cerita.

"Lo gak ngerti juga?"

Aku menunjuk satu foto. Disana terlihat jelas seorang pengemis dengan telapak tangan kiri dibalut kain kasa dan tangan kanan memegang tongkat kayu. Kaki kanannya dibuat pincang, entah benar atau hanya sekedar menarik iba. Dia berdiri disamping mobil yang kebetulan saat itu sedang terbuka jendalanya ketika mengambil gambar. Difoto selanjutnya orang itu memberikan uang seribu rupiah.

"Gue gak habis pikir kenapa orang ini ngemis. Lo liat deh. Dia gak terlihat seperti sakit." aku mencoba menjelaskan.

"Mungkin dia benar-benar sakit, Na."

"Kalau dia sakit ngak mungkin dia sanggup berjalan di tengah cuaca panas kayak gini."

Bea mengambil satu foto. Ditatapnya dengan serius. Pandangannya beralih kefoto selanjutnya. Baru dia sadari semua foto yang aku urutkan itu membentuk sebuah cerita.

"Mungkin dia gak punya pilihan lain."

"Tapi kita tau kan mengemis itu dilarang. Apa lagi kalau kita masih bisa mampu bekerja. Ngak seharusnya dia mengemis seperti itu. Masih banyak pekerjaan lain. Tangan diatas lebih baik dari pada dibawah."

Bea mulai terlihat geram beradu argument, "Udah ah. Gue gak paham isi pikiran lo. Lanjutin proyek lo sendiri. Gue masih banyak kerjaan."

Dengan cepat Bea kembali kemeja kerjanya. Meninggalkan aku yang masih tefokus mengamati foto. Tidak seharusnya orang yang masih kuat seperti ini meminta-minta di jalan. Masih banyak pekerja lain yang bisa dia kerjakan. Selama ada kemauan pasti ada jalan. Agama juga melarang kita mengemis.

Selain itu aku jamin, dia tidak mengalami cacat fisik. Disalah satu foto yang tidak sengaja aku ambil, terrfoto jelas dia berjalan dengan kedua kakinya. Saat itu memang keadaan cukup sepi. Tangannya pun pasti tidak luka ataupun memiliki kecacatan. Dia sengaja membungkusnya dengan perban untuk menarik iba orang –orang. Manusia terkadang sulit dimengerti.

***

Hari ketiga pengamatanku. Aku kembali ketempat yang sama seperti dua hari sebelumnya. Kali ini yang menarik perhatianku adalah seorang kakek penjual tahu sumedang. Salah satu cemilan khas Indonesia. Usianya sudah senja namun harus tetap bekerja keras menahan panas dan asap polusi.

"Tahunya bu" Ucap kakek itu mencoba menawarkan dagangannya.

Ibu yang dimaksud hanya menggelengkan kepalanya.

Seolah tak mengenal lelah sang kakek tetap mencoba mencari seseorang yang mungkin ingin membeli. Pekerjaan ini jauh lebih baik dari pada mengemis. Seharusnya seseorang member lebih pada orang seperti ini dari pada memberikan uang untuk seseorang yang hanya duduk diam mengharap belas kasihan. Padahal dia masih kuat untuk bekerja.

"Berapa tahunya kek?"

Kali ini seorang siswi dengan seragam putih abu-abu sedikit melirik jualan si kakek. Kulihat sejenak jam tangan hadiah ulangtahunku beberapa bulan yang lalu. Pukul 14.15. Ternyata sudah waktunya untuk anak sekolah pulang kerumah.

"Lima ribu saja dek."

"Beli satu kek."

Akhirnya ada juga yang membeli. Aku turut tersenyum untuk jerih payah si kakek walalupun belum semuanya yang terjual. Dari jarak yang cukup jauh, kuatur lensa kameraku. Berkali-kali aku mengambil gambar. Pikiranku terbayang akan orang tuaku di desa. Sudah sangat lama aku tidak pulang. Hanya sesekali berkirim kabar lawat telepon dan uang bulanan yang selalu aku kirimkan.

Lalu dimanaanak-anaknya? Diusia senjanya dia harus tetap bekerja. Tidakah anak-anaknyamemikirkan hal itu? Dimana nurani anak yang dibesarkan dengan kasih sayang?Manusia memang tidak tahu cara membalas.

********************************Bersambung******************************************************

satu cerita tentang kehidupan...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang