O2. Quest

373 60 42
                                    

Pagi ini sama seperti kemarin malam. Tidak ada satu pun notifikasi pesan dari Jelin. Tidak ada ucapan selamat pagi disertai emot lucu. Perasaannya sungguh rancu. Bahkan pesan yang kemarin Jovan kirim belum dibaca.

Tidak ada kepakan lepidoptera dalam perut yang beberapa bulan ini Jovan rasakan ketika mendengar voice notes dari Jelin.

Pagi ini cerah, nyanyian burung-burung terdengar merdu. Namun hatinya dilanda pilu.

Jovan mencoba sekali lagi untuk menelpon Jelin, ia memejamkan mata sembari berdoa, semoga segera dijawab oleh Jelin.

Dan ternyata hasilnya hanya ia mendengar suara operator.

Kali ini Jovan rasa gelisahnya mencapai puncak. Diraihnya kunci motor di meja nakas. Jovan memakai jaketnya, ia berniat untuk pergi menemui Jelin sekarang.

Ketika sampai ambang pintu, Jovan tersadar betapa bodohnya ia. Jovan tidak tahu dimana Jelin tinggal. Selama ini ia tak tahu, yang dirinya tahu hanya Jelin yang selama ini tinggal sendiri di apartemen.

Jovan mengecek ponselnya lagi, tidak ada balasan dari Jelin. Kemudian ia mencari-cari kontak yang diperlukannya saat ini.

Tak lama sang empu dari teleponnya menjawab.

"Apa bangsat? Gak penting gue bacok."

"Sans anjir, ini penting banget pokoknya."

"Yaudah apaan? Gue lagi ngedrakor lo ganggu banget nying."

"Lo tau alamat apartemen Jelin?"

"Lo pacarnya masa kagak tau, gue shere loc-nya aja nih."

"Oke makasih."

"Tumben banget anying lo bilang makasih."

Dirasanya tak perlu dijawab lagi Jovan memutuskan sambungan telepon. Tak lama berselang ia mendapatkan pesan dari —teman sekelas Jelin, dulu pernah sekali berkunjung apartemen Jelin untuk kerja kelompok katanya—, yang barusan ia hubungi tadi.

⚘⚘⚘

Jovan mencari-cari di sekitar depan apartemen Jelin. Tak ada seorang pun di sana. Menghela napas sebentar, tangannya kembali mengetuk pintu.

Sekitar lima belas menit lebih dari sebelum ia mengetuk, tak kunjung mendapat jawaban. Sebenarnya kemana Jelin? Nomornya tak aktif di telepon berulang kali dan bisa ia rasakan juga Jelin pasti tak ada di dalam.

Seharusnya tidak begini. Semakin lama, Jovan semakin peduli pada Jelin. Terbukti resahnya tak kunjung usai.

Jovan kembali mengetuk pintu. Saat di kedua ketukan, sebuah suara mengintrupsinya. Perlahan Jovan menolehkan kepala. Ia mencureng mendapati teman Jelin yang amat tidak suka padanya berdiri depan, tentu dengan wajah angkuhnya yang tak pernah enggan dipasang.

"Kenapa?" tanya perempuan itu.

"Seharusnya gue yang tanya, kenapa?"

"Tapi udah keduluan gue
Jadi, kenapa?"

"Apanya yang kenapa?"

"Ya lo kenapa?"

"Gue gak kenapa-kenapa."

Risya menggeram kesal sembari memejamkan mata sejenak. Kemudian netranya kembali nampak bersamaan dengan helaan napas. "Gue bukan nanya kenapa-kenapa atau gak kenapa-kenapanya lo."

"Kenapa-kenapa, kenapa?"

Risya baru mau membuka suara lagi tapi ia tahan sebentar untuk mengelus dada sabar.

"Gak usah main-main. Maksud gue, lo kenapa di sini?"

"Ohh..."

"Jadi?"

"Apanya?"

"Lo kenapa di sini bangsat?!"

Jovan berdecak pelan, kemudian memutar bola matanya. "Gue ke sini buat nyari Jelin, lo ga liat apa barusan gue ketuk-ketuk nih pintu."

"Mau diketuk berapakali juga gak bakal ada yang nyahutin."

"Ohh Jelin lagi keluar, ya?"

"Iya," jawabnya ketus.

"Oke deh, makasih infonya." Setelah berkata seperti itu Jovan bersender pada pintu yang sebelumnya berulang kali ia ketuk. Lelaki itu mengeluarkan ponsel dari sakunya, sekarang ia memilih untuk menunggu Jelin di depan rumahnya.

Sedangkan Risya melongo tak percaya dengan reaksi laki-laki menyebalkan di depannya ini. "Lo ga penasaran Jelin pergi kemana?"

"Memangnya kemana?" tanyanya langsung tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponsel.

Risya melipat kedua tangannya di depan dada, dan sedikit menaikan dagunya. "Lo pikir aja sendiri, kira-kira Jelin kemana sekarang?"

Jovan menghentikan aktivitasnya bermain ponsel. Sambil berpikir ia menatap rupa sinis perempuan di depannya.

"Ke warung beli indomie?" tebaknya ragu-ragu.

"Astaga... Lo bener-bener—" Risya mengepalkan kedua tangannya untuk menahan kesal. Sungguh, ia geram sekali rasanya pada laki-laki di depannya yang sialnya memiliki wajah tampan.

"Kenapa? Tebakan gue salah ya?"

"Salah!" jeritnya tertahan.

"Trus? Kemana?"

"Jelin... pergi."

Menyadari perubahan raut wajah Risya, Jovan mendekat perlahan. Gadis itu menundukan kepala, Jovan juga mengikuti untuk memastikan.

"Eh, elo nangis?" tanya Jovan pelan.

"Nggak!!"

Ia mendongakan kepalanya, dan dengan jelas terlihat kedua matanya yang memerah.

"Tuh nangis..." Jovan menunjuk kedua mata Risya yang jika berkedip akan meneteskan air mata.

Risya mengalihkan atensinya ke arah lain. Sedikit terisak ia berbicara. "Jelin udah pergi..., dia bilang ga akan balik lagi."

⚘⚘⚘

"Seharusnya bener, gue ga usah balik aja."

"Ssttt, jangan bilang gitu." Ia memperingati kemudian menggenggam tangan perempuan yang sudah lama ia rindukan.

"Gue seneng banget lo dateng, biarin kalo di gak suka, memang dia siapa kita. Dia jahat Lin, gue ga suka."

Kepalanya ia tolehkan untuk melihat pemudi cantik yang baru saja selesai menangis sejak kemarin malam. Sebelah tangannya yang tak di genggam mulai terangkat untuk merapikan rambutnya.

"Jangan nangis, lo jelek banget."

"Tangan lo dingin banget," ujarnya tak mengidahkan perkataan perempuan yang sedikit lebih tua darinya. "Lo gak papa 'kan?"

"Gak papa, udah mendingan kok," jawabnya bohong. Tentu saja bohong, sebab rasa sakitnya tak pernah berkurang. Malahan bertambah parah.

Ditatapnya ia yang kembali menangis, isakannya begitu pilu. Gadis yang sudah lama tak ditemuinya ini jelas-jelas merasakan sakit lebih darinya.

"Lin, gue gak papa kok. Serius."

"Be-beneran...?"

"Iya." Ia berhenti sejenak untuk mengambil napas. "Kalo sekarang sih gak papa," lanjutnya lagi.

"Jangan sakit lagi, gue ga punya siapa-siapa."

"Maafin gue. Tapi lo juga jangan sakit juga ya. Janji sama gue."

"Iya..."

﹌﹌﹌﹌﹌﹌﹌﹌﹌﹌﹌

𝐓𝐨 𝐁𝐞 𝐂𝐨𝐧𝐭𝐢𝐧𝐮𝐞𝐝

Finding JelinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang