GAGAL HORROR
🌿
Paijo bersiul memasuki rumah dengan memutar kunci motor di jari tangan. Hari itu dia pulang terlambat setelah mengantar Kardi memborong ayam di pasar. Nanti malam, mereka berencana pesta di rumah salah satu teman yang akan hajatan."Maak!" panggilnya seraya membuka tudung nasi. Wajah langsung semringah saat melihat sayur asam dan sambal korek kesukaannya. "Wah, cocok! Makan, Mak. Piring mana, piring?"
Mae (Ibu) yang baru saja menggiring sapi masuk ke dalam kandang, tampak menoleh sebentar melihat putra semata wayangnya telah berada di rumah.
"Mae!" teriaknya lagi.
"Mbok, ya, ngambil sendiri, Le. Tangan mae bau sapi," sahutnya.
"Bapak sudah makan, Mak?"
"Sudah," jawabnya tanpa menoleh, tangannya mengaitkan tali yang mengikat leher sapi ke sebuah bambu yang tertancap kuat di tanah agar hewan gemuk itu tidak lepas dan lari ke luar kandang.
Paijo langsung menyendok nasi dari bakul bambu, memasukkannya ke dalam rantang yang berisi sayur asam. "Tak habisin sayurnya, Mak!" serunya sambil duduk mengangkat kaki di atas bangku kayu panjang. Pemuda berambut kemerahan itu tampak lahap menyantap makanan karena seharian belum bertemu nasi.
"Kamu itu dari mana saja, Jo? Kok pulangnya maghrib. Pulang sekolah itu jangan langsung ngelayab." Mae menutup pintu dan mengganjalnya dengan kayu balok berukuran besar, kemudian berjalan menuju kamar mandi yang hanya bertutup papan seukuran dada orang dewasa.
"Ke pasar cari ayam, Mak. Ini nanti mau ke rumah Gimo lagi, mau bakar-bakar," sahutnya dengan mulut masih penuh makanan, tampak buliran keringat yang membasahi pelipis, kepedasan.
"Jangan kemalaman nanti kalau pulang. Jalanan kalau malam sering sepi."
"Iya," sahutnya. Bersamaan dengan Bapak yang muncul dari bilik kayu, masih mengenakan peci dan sarung kotak-kotak.
"Sholat, Le. 'Ndlewer'!" gerutunya seraya mengusap kepala anak tunggalnya itu kemudian berlalu. Paijo sempat terbatuk dan buru-buru menyambar kendi di atas meja dan menenggaknya.
Selesai makan, Paijo bergegas ke kamar dan memilih baju dari lemari untuk berdandan sekeren mungkin karena kebetulan, dia sedang mengincar saudara sepupu Gimo yang pasti akan berada di sana juga nanti malam.
"Buruan, Maak! Jo mau mandi!" teriaknya.
___
Setelah Isya, Paijo melaju dengan sepeda motor menyusuri jalan kampung yang hanya diterangi lampu sentir di setiap teras rumah warga. Tinggal di pedalaman yang harus melewati jalan di tengah hutan memang sedikit kendala, meskipun sudah ada kendaraan bermotor, tak jarang warga memilih untuk tidak pergi ke kota pada malam hari.
Paijo lumayan sering keluar rumah, selain karena sekolah, teman-temannya juga kebanyakan berasal dari luar kampung yang otomatis harus sering melintasi jalan hutan. Bukan sekali dua kali dia mendengar cerita menyeramkan soal penampakan makhluk halus di hutan, tapi selama ini dia tidak pernah menemui hal aneh seperti yang diberitakan orang. 'Kalau ketemu dijalan tinggal tabrak pakai motor' begitu pikirnya.
Mendekati jembatan kecil yang berada di atas sungai kering karena musim kemarau, Paijo melambatkan laju motor. Bukan apa-apa, tapi jembatan hanya terbuat dari pilar kayu jati yang disusun sedemikian rupa hingga akan sedikit bergerak saat ada kendaraan yang melintas di atasnya.
Aroma tajam mendadak tercium, seperti singkong rebus. Paijo menurunkan kedua kakinya saat melewati jembatan agar motor tidak oleng, saat itulah lampu motor menyorot ke ujung jembatan, nampak sekelebat bayangan yang menghilang dengan cepat. Paijo tertegun, kembali menyorot ke arah lain, tapi yang terlihat hanya semak yang rimbun di kanan dan kiri jalan.