Jeongin berdiri di depan Hyunjin dengan nafas terengah-engah. Matanya menatap tajam Hyunjin yang baru saja menusuk lengan kirinya hingga membuat luka yang cukup panjang disana.
Sementara itu, yang ditatap hanya tertawa meremehkan karena Jeongin berhasil dia kalahkan.
"Jeong, kenapa lo milih buat nyelamatin Jinyoung daripada sembunyi dari gue?" Tanya Hyunjin sambil memutar-mutar pisaunya.
"Karena aku bukan Kak Hyunjin yang bunuh temen sendiri."
"Kurang ajar!"
"Apa hah apa! Kak Hyunjin seharusnya sadar sama apa yang udah dilakuin, semua ini gak bener!"
"LO GAK TAU GIMANA RASANYA JADI GUE!"
"TAPI AKU TEMEN KAK HYUNJIN, AKU BAKAL BERUSAHA PAHAM SAMA ISI HATI KAK HYUNJIN."
"Halah, alasan klasik. Lagipula, gue seneng kok jadi psikopat. Bisa bunuh orang, ngeliat reaksi dia yang kesakitan, dan liat darah gak seburuk yang gue bayangkan. Apalagi kalo gue bunuh secara perlahan, suara teriakan dan rintihan kesakitan mereka jadi lagu indah buat gue."
Jeongin mendecih. Gila, itu yang dia pikirkan.
"Berarti Kak Hyunjin anggap teriakan orang-orang di neraka sebagai lagu? Terus kalo Kak Hyunjin masuk neraka, Kak Hyunjin masih bisa anggap itu lagu?"
"Ya gak apa-apa, seenggaknya gue puas sama apa yang gue lakuin."
Jeongin menatap Hyunjin nggak percaya. Gila, Hyunjin bener-bener nggak waras.
Seharusnya dari dulu dia percaya sama ucapan Jisung kalau Hyunjin pelakunya. Dengan begitu kan dia bisa melapor ke polisi dan saat ini Hyunjin sudah di penjara.
Tapi nasi sudah menjadi bubur, Jeongin menyesal.
"Kok diem? Pengen cepet mati, ya? Mau bagian mana dulu? Kepala? Leher? Dada? Perut? Atau sekalian semua aja? Pisau gue pengen nusuk orang nih," tanya Hyunjin memecah keheningan.
"Kak Hyunjin mau bunuh aku? Percuma kak, gak bakal bisa," ucap Jeongin sesantai mungkin.
"Gak bisa gimana?" Hyunjin memiringkan kepalanya bingung.
Jeongin menyeringai. "Hehe, kalo dikasih tau nanti kaget."
"Cepet kasih tau atau gue bakal bunuh lo!" Bentak Hyunjin mengancam sambil menodongkan pisaunya.
Seringaian Jeongin semakin lebar, ia maju selangkah mendekati Hyunjin.
"Yakin mau tau?"
Hyunjin geram, pisaunya langsung dia arahkan ke leher Jeongin. "Buruan kasih tau atau pisau gue bakal nusuk leher lo."
"Oke, kalo itu mau Kak Hyunjin," kata Jeongin sambil mengangguk-angguk.
Hyunjin menempelkan pisaunya di leher Jeongin, bermaksud menyuruhnya untuk cepat bicara.
Jeongin terkekeh. "Kak Hyunjin mau bunuh aku silahkan, Jeongin gak bakal mati."
"H-hah?"
"Jeongin gak ada disini."
Sontak kedua mata Hyunjin membola karena terkejut. Kalau Jeongin nggak ada disini, terus yang ada di depannya siapa?
"Jangan main-main sama gue!"
"Ihh takut, Kak Hyunjin ternyata serem juga ya, sama kayak yang diceritain Jeongin."
"LO SIAPA?!"
Jeongin lagi-lagi menyeringai. Ia mendorong pelan pisau yang dipegang Hyunjin agar menjauh.
"Aku Jeongin, Yang Jeongin."
Jeongin diam sejenak, terkekeh pelan melihat raut wajah Hyunjin. Lalu, perkatannya selanjutnya membuat Hyunjin terkejut.
"Lebih tepatnya, aku kloningannya Jeongin."
Jinyoung meringis sembari menekan punggung tangannya agar darahnya nggak terus keluar. Matanya menatap sekelilingnya berusaha mencari kain yang bisa menutupi lukanya.
"Gue gak mau mati, gue belum mengutarakan cinta gue ke Eunbin."
Jinyoung menghela nafas, kalau begini ceritanya dia bisa mati kehabisan darah.
Apalagi pintu ruang guru terlihat dipaksa untuk dibuka. Dia yakin Woojin sedang berusaha mendorong atau mendobraknya.
Karena itu, dia segera bangkit. Tangan kirinya memegang pinggiran jendela. Kakinya ia naikkan perlahan kesana.
"Aduh aduh aduh, kenapa nasib gue semengerikan ini, sih? Keseringan baca ceritanya Cappuxcino jadi begini nih."
Jinyoung terus mengaduh seraya keluar lewat jendela. Sesekali ia menoleh ke arah pintu yang mulai terbuka.
Dia langsung panik. Tanpa sengaja, dia malah terpeleset dan jatuh menghantam lantai dengan keras. Di saat itu juga pintu langsung terbuka lebar.
Jinyoung langsung mendongak, dilihatnya Woojin yang berjalan menghampirinya dengan wajah datar.
"Ternyata gue gak perlu susah-susah buat narik lo ke dalem," katanya.
"Lo kenapa jadi begini?" Tanya Jinyoung lirih.
"Woojin terlalu baik jadi orang, jadi sekarang saatnya gue ambil alih dirinya supaya dia ngelakuin kejahatan, untuk yang kedua kalinya."
"Ke-kedua kalinya?"
"Iya, dulu gue pernah bunuh orang, gue bunuh kedua orang tua gue sendiri dan Jihoon nggak tau itu. Dia cuma tau kalo gue bunuh abang somay di perempatan jalan," jelas Woojin, lebih tepatnya diri Woojin yang lain.
"Abang somay?" Jinyoung berpikir sebentar, kemudian dia teringat sesuatu. Dengan kaget dia menatap Woojin. "Jadi lo yang bunuh Bang Daniel?"
"Iya lah, siapa lagi. By the way, nama gue bukan Woojin, gue Pakujin."
Krik krik krik krik.
Muka Jinyoung langsung datar. "Lo kuntilanak? Nama kok ada pakunya, coba sini liat."
Yeu, malah bercanda nih orang.
"Si anjir, gue Park Woojin woi!"
"Lah, katanya lo lagi ambil alih dirinya Bang Woojin."
"Gak tau, gue gak peduli! Lo harus mati sekarang juga!"
Jinyoung terbelalak kaget melihat Woojin mengangkat pisaunya, hendak menikamnya.
Sontak, ia menutup matanya rapat-rapat ketika Woojin menggerakkan pisaunya.
BUGH
Jinyoung kembali membuka mata. Ia terkejut melihat Woojin terkapar tak sadarkan diri di lantai.
Kemudian, dia mendongak menatap laki-laki yang berdiri sambil memegang balok kayu dengan wajah khawatirnya.
"Jeongin lo gak apa-apa? H-Hyunjin mana?" Tanya Jinyoung cemas.
Jeongin menggelengkan kepala. "Aku gak apa-apa. Masalah Kak Hyunjin tenang aja, kita aman. Ada yang urus dia."
Jeongin segera membantu Jinyoung berdiri dan memapahnya. "Ayo kak, kita ke gerbang sekarang. Kak Felix lagi dalam perjalanan kesini."
"Ki-kita bakal selamat, kan?" Tanya Jinyoung ragu. Jeongin mengangguk mantap.
"Iya, kita berdua bakal selamat dan Kak Hyunjin bakal dapet hukuman yang setimpal atas apa yang dia lakuin selama ini."
Kok aku ngerasa makin kesini makin aneh ya ceritanya
Btw, cappuxcino itu uname lamaku :v
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] E-mail | 00Line ft. 99Line ✓
Mistério / Suspense❝Dead or Kill.❞ Dibaca setelah who dan 18.00