Jinyoung bingung, dia harus lari atau bantu Jeongin yang lagi berantem sama Hyunjin dan Woojin.
Tadi pas Woojin muncul, Jeongin langsung nendang perut Hyunjin sampai orangnya jatuh ke belakang.
Tapi pas Jeongin mau ngajak Jinyoung pergi, Woojin langsung melempar pisaunya dan menancap di betis Jinyoung.
Alhasil Jinyoung nggak bisa pergi dengan cepat. Karena itu Jeongin berantem supaya ngasih waktu buat Jinyoung kabur.
"Aduh, sakit banget kaki gue. Berasa ditolak gebetan," ringis Jinyoung sambil mengikatkan sapu tangannya di betisnya yang terus mengeluarkan darah.
"Kak Jinyoung cepetan pergi! Kalo aku mati, bilang ke Kak Felix jangan nangis kejer di pemakaman nanti!" Teriak Jeongin tiba-tiba.
"Sembarangan! Lo selamat gue juga selamat. Kalo lo mati ya gue gak mau mati."
Ngelawak nih bocah.
"Halah, banyak omong kalian berdua. Woojin, bunuh Jinyoung. Gue ada perlu sama adek yang paling gue benci," suruh Hyunjin dengan seringaian yang terukir di sudut bibirnya.
Woojin mengangguk, kemudian menatap Jinyoung yang udah ambil ancang-ancang untuk lari.
Begitu Woojin lari ke arahnya, Jinyoung langsung lari dengan terseok-seok karena luka di betisnya.
"Tuhan, mudah-mudahan habis kejar-kejaran ini kaki saya nggak kenapa-napa. Saya nggak mau dimutilasi," gumam Jinyoung berdoa sambil terus lari.
"Bae Jinyoung, gue mau ngobrol sebentar. Sini dong," panggil Woojin dari arah belakang.
Jinyoung menulikan telinganya, dia berbelok ke koridor sebelah kiri dan langsung masuk ke dalam ruang guru.
Beruntung pintunya nggak dikunci. Alhasil, dia bisa masuk dan langsung geser meja supaya pintu nggak bisa dibuka.
"Aduh, gue harus kabur atau nunggu Jeongin, ya?" Tanyanya bingung.
Jinyoung menundukkan kepalanya, menatap kakinya yang berlumuran darah.
"Gue gak mau ninggalin Jeongin gitu aja, dia udah berusaha nyelamatin gue. Tapi kalo gue gak pergi, lukanya bisa tambah parah. Parahnya lagi kalo gue kehabisan darah."
Jinyoung termenung sesaat, bingung harus apa. Lalu, pandangannya mengarah pada jendela yang terbuka lebar.
Kok bisa ya pintu sama jendela di ruang guru nggak dikunci.
Tapi masa bodo, Jinyoung memilih untuk pergi dan meminta pertolongan kepada orang sekitar.
Dengan tertatih-tatih dia berjalan ke arah jendela. Tangannya memegang jendela secara perlahan, bersiap untuk menaikkan kakinya.
Tapi anehnya, dia seperti menyenggol sesuatu.
Sesuatu seperti tali atau benang.
"Ah, bodo amat, yang penting gue harus keluar," gumamnya tak peduli.
Namun apa yang terjadi, tiba-tiba ada pisau yang jatuh dari atas. Pisau tersebut terikat oleh benang tipis yang nggak terlalu kelihatan.
Jinyoung langsung berteriak karena terkejut. Bukan hanya terkejut, tapi karena sakit.
Karena pisau tersebut jatuh dan menancap di punggung tangan kanannya.
"Lix, pelanin mobil lo, gue takut sumpah."
Felix pura-pura nggak dengar, dia fokus menyetir layaknya pembalap profesional itu.
"LO LEBIH MUDA DARI GUE, JANGAN DURHAKA LO!"
"Alah, berisik amat congornya."
"CONGOR LO BILANG?!"
Jihoon emang kesal sama Felix yang terus ngebut tanpa memperdulikan dia yang terus teriak minta pelanin mobilnya.
Tapi dia nggak bisa ngapa-ngapain saking takutnya. Kedua kakinya dia naikkan ke atas, kedua tangannya terus nahan badannya yang belok kanan belok kiri gara-gara terlalu ngebut mobilnya.
"GUE GAK MAU MATI MUDA!"
"Ya udah matinya jangan sekarang, nanti aja."
"Kan kematian seseorang nggak ada yang tahu, kalo gue mati karena mobil lo nabrak pohon atau trotoar gimana?!"
"Ya jangan dibayangin lah, susah amat."
Jihoon langsung mengelus dada. Beruntung mobil dalam kondisi ngebut, kalau enggak dia pasti udah mukul Felix saking kesalnya.
"Kenapa harus lampu merah sih?!" Ucap Felix kesal sambil memukul setir kemudinya ketika melihat lampu merah tak jauh di depannya.
"Syukurlah gue gak jadi mati," kata Jihoon lega.
"Ya nggak mati lah, kan gue bawa mobilnya pelan," balas Felix santai.
Tatapan Jihoon langsung menajam. "Pelan lo bilang? 120 KM/JAM LO BILANG PELAN?!"
Felix langsung nyengir.
TING!
Felix sama Jihoon langsung menoleh ke ponsel Felix yang berbunyi di jok samping Felix.
Baru aja Felix mau ambil, Jihoon lebih dulu menyahut. "Sini gue aja, lo udah diklakson mobil belakang."
"O-oh, oke."
Jihoon mengambil ponsel tersebut dengan cepat sebelum Felix menancap gas yang bikin dia ketakutan. Tapi kali ini Felix nyetirnya pelan.
"Lix, ada pesan dari Jeongin."
Jihoon berdeham sebentar lalu membaca pesannya.
"Kak Felix dimana, sih?! Kan aku suruh tunggu di depan gerbang!" Baca Jihoon dengan nada yang dibuat-buat.
CKIITTT
"WOI LO GILA HAH?!" Bentak Jihoon emosi.
Setelah mendengar isi pesan tersebut, Felix langsung menginjak rem sehingga mobil terhenti secara mendadak. Beruntung nggak ada mobil di belakang.
Jihoon yang ada di belakang langsung kedorong ke depan dan ponsel Felix yang ia pegang terlempar.
"Lo turun sekarang."
Jihoon membulatkan matanya. "Ngapain gue harus turun? Lo udah bikin gue jantungan dan emosi berapa kali, enak banget nyuruh gue turun," cerocosnya.
"Lo jalan kaki aja ke kantor polisi, udah deket tuh. Gue harus ke sekolah sekarang."
"Lo tau lah badan gue gimana, capek bruh."
"BURUAN KELUAR!"
"Iya-iya."
Begitu Jihoon sudah turun dari mobil, Felix langsung menancap gas dan memutar arah.
"Kenapa gue bego banget, sih?" Rutuknya menyesal.
Pasti Jeongin berhasil bawa Jinyoung. Itu tandanya mereka selamat. Tapi dengan bodohnya, dia lupa kalau Jeongin nyuruh dia nunggu di depan gerbang.
"Maaf, Jeong. Gue bakal sampe disana dengan cepet. Gue harap kalian baik-baik aja."
Setelah itu, Felix menambah kecepatan mobilnya, melaju cepat di jalan memecah keheningan malam.
Juga, berdoa agar kedua temannya selamat. Untuk Hyunjin, Felix harap dia sadar atas apa yang dia lakukan.
Hehe, update lagi nih.
Sebenernya aku tuh suka heran sendiri. Aku lagi buntu ide, tapi tangan tetep gerak buat ngetik.
Jadi, sekali lagi maaf kalo ceritaku kurang atau banyak salah.
Ternyata chapter selanjutnya bisa lebih dari 1 atau 2 guys, muehehe.
Ditunggu update selanjutnya><
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] E-mail | 00Line ft. 99Line ✓
Mistero / Thriller❝Dead or Kill.❞ Dibaca setelah who dan 18.00