"zahra?"
Suara itu mengintrupsiku untuk sadar dari lamunan ini. Sungguh, tak ada keinginan mengingatnya. Mengapa? Mengapa bayangannya selalu hadir di pikiran ku? Tidakkah mengerti akan ketersulitanku melupakannya? Raga dan pikiranku ingin melupakan tapi kenapa hati tidak sependapat? Yaa Tuhan.
"yaa Allah. Maaf Ina, Aku melamun?"
"na'am. Ada apa denganmu zahra? Apa kau masih belum bisa melupakannya?" interogasi mu'minah padaku.
Aku hanya dapat menundukkan pandanganku, tak sanggup menatap dirinya yg sekarang menatapku. Hatiku bergejolak. Entah, apakah itu keinginan untuk menceritakan semuanya atau tidak.
"ceritakan padaku Zahra. Jangan kau pendam sendiri. Tidakkah kau tau? Aku sedih melihatmu seperti ini, terpuruk akan setiap hal mengenai dirinya."
Tangisan pilu itu terdengar di gendang telingaku. Mu'minah menangis? Lagi? Yaa Allah. apa yang aku lakukan? Aku ini sahabat macam apa? Lagi dan lagi membuatnya menangis.
Ku angkat kepalaku menatapnya, dengan pancaran kesedihan. Air mata yang jatuh tiada henti menggambarkan air terjun yang tak henti-hentinya memancarkan airnya. Tubuhku bergetar menahan isak tangis, tak ingin rasanya memperlihatkan kesedihan ini di hadapannya. Cukup. Sudah cukup ia menangis karenaku. Aku yang bodoh menerima lelaki itu. Lalu kenapa sahabatku yang tersiksa?
"i i i ina, aku mohon jangan menangis. A a aku akan ceritakan s s semuanya padamu. Tapi ku mohon jangan menangis lagi!" kataku terbata-bata.
Ia kini mengangkat kepalanya, menatapku dengan bekas air mata melekat di pipi cubinya. Hati terasa tersayat seribu pisau, melihat mata teduh nan indah itu penuh dengan bekas air mata. Tak sanggup melihat kesedihan sahabatku, apalagi disebabkan olehku yang tak tau terimakasih.