1

387 56 3
                                    



Yena. Jihoon. Dua-duanya memasang wajah serius. Aura tidak menyenangkan melingkupi mereka. Meja yang beberapa menit lalu masih di isi dengan percakapan hangat tiba-tiba berubah dingin dan canggung.

Suasana ramai café pagi itu tidak bisa menutupi emosi keduanya.

"Yena, kita baru ketemu 15 menit loh."

"Iya aku tahu, tapi ini genting Hoon."

Yena masih berusaha membujuk Jihoon. Well, dua minggu tidak saling bertemu. Bahkan pesan yang Jihoon kirim pun masih sering Yena abaikan, alasannya sibuk di kampus dan Jihoon berusaha memaklumi. Tapi baru beberapa menit Jihoon bisa melihat wajah kekasihnya itu, lalu tiba-tiba Yena minta izin untuk pulang. Alasannya karena Yuri.


Jihoon marah.


"Pacar kamu itu aku atau Yuri sih?"

"Hoon please. Yuri butuh aku sekarang."

"Temen Yuri itu bukan cuma kamu. Kamu terlalu manjain dia, jadinya ketergantungan."

"Ibunya Yuri meninggal. Kamu ngerti nggak sih? Siapa yang mau manjain dia?"

Yena benar-benar muak sekarang. Dia tahu, Jihoon seperti ini karena merindukannya. Yena pun sama, dia juga merindukan Jihoon setelah 2 minggu berhalangan bertemu karena tugas yang menumpuk. Tapi pesan singkat yang baru saja datang dari Yuri sungguh tidak bisa Yena abaikan.



Jo Yuri

mamah meninggal...



Anak yang biasanya hidup dengan banyak emoticon di setiap pesannya. Tiba-tiba mengirimkan pesan singkat dengan isi seperti itu. Yena yakin Yuri tidak sedang bercanda, karena se-menyebalkannya Jo Yuri dia tidak akan pernah bercanda se-ekstrem ini.

Tapi, rasanya beberapa hari yang lalu Jihan masih mengobrol dengannya. Bicara soal Yuri yang semakin terlihat malas kuliah, beliau juga meminta Yena untuk tetap mengawasi anak sulungnya itu di kampus. Lalu tiba-tiba pagi ini Yena mendengar kabar meninggalnya Ibu dari sahabat kecilnya itu.

Rasanya tidak mungkin.



Keduanya masih diam.

Yena yang masih menunggu persetujuan Jihoon, dan Jihoon yang enggan bicara.

Ya, Jihoon marah, rasanya sudah terlalu sering Yena menomor duakan dirinya dengan Yuri. Menjadi kekasihnya selama satu tahun, belum membuat Jihoon merasa jika perempuan itu juga mencintainya.

Tapi, di lain sisi Jihoon merasa konyol, kekanakkan dan egois. Kenapa dia harus cemburu kepada seorang perempuan? Selain itu, kali ini posisi Yuri memang sepertinya sedang sulit. Dia butuh Yena, sahabatnya yang selalu dia tempeli, tentu saja.


"Oke."


Satu kata dari Jihoon itu membuat Yena segera berdiri dari kursinya. Setelah mengucapkan banyak terima kasih dan kata maaf Yena benar-benar meninggalkannya sendirian di meja café. Rencana kencan yang sudah Jihoon susun rupanya harus gagal untuk kesekian kalinya.



***


Bus melaju pelan dan rasanya Yena ingin mengganti supir Bus itu dengan dirinya sendiri. Jarak dari café dan lingkungan rumahnya tidak begitu jauh. Tapi waktu terus berjalan dan rasanya terbuang dengan percuma.

Sejak keluar dari café, jarinya tidak lepas dari ponsel. Berusaha menelpon Yuri dan tidak sekali pun perempuan itu menjawab panggilannya. Entah mungkin sedang sibuk mengurusi pemakaman atau mungkin masih histeris menangis. Yang jelas Yena benar-benar khawatir.

Akhirnya nama lain terlintas dalam fikirannya. Dan menjadi tujuan panggilan ponselnya setelah Yuri yang masih tidak mau menjawab.


Calling Yujin..


"Kak, dimana sih?" - Menjadi kalimat pertama dari Yujin begitu sambungan telepon terhubung.

"Lagi di jalan. Please jin, tante Jihan beneran meninggal?"

"Iya, mendadak banget.Tapi kayanya dari tengah malem, cuma baru ketauan tadi pagi."

"Terus Yuri gimana?"

"Nangis. She blames herself."


Nafas Yena tersenggal. Dia benar-benar ingin segera sampai di rumah Yuri, memeluknya dan menenangkan perempuan itu.

"Gak ada yang bisa tenangin dia. Gue bener-bener nungguin lo."

"Bentar lagi nyampe, tolong jagain Yuri dulu."

"Lagian lo dari mana sih? Gak biasanya minggu pagi-pagi gini di luar."

"Gue abis sama Jihoon."

"Terus cowok lo sekarang gimana?"

"Gue tinggalin."


"Oh, oke."


Yujin tidak kaget. Karena bagi Yena, Yuri adalah segalanya. 

AnomalyWhere stories live. Discover now