2

309 47 4
                                    


Belajar ikhlas

Semua akan baik-baik saja


Dua kalimat yang benar-benar memuakkan itu sudah ratusan kalinya terdengar. Setiap manusia yang datang, dengan setelan serba hitam dan wajah di buat sedih berakhir mengatakan kalimat-kalimat itu padanya.

Mereka tidak tahu apa-apa. Mengikhlaskan bukan perkara mudah dan ini semua tidak akan pernah menjadi baik-baik saja.

Dunia seorang Jo Yuri benar-benar sudah hancur. Melihat tubuh ibunya sendiri telah kaku di pagi hari. Setelah berjuang selama 4 tahun dengan kanker perutnya, Jihan meninggalkannya diam-diam saat semua orang di rumah tengah terlelap.

Pagi paling mengerikan sepanjang hidup Yuri. Seisi rumah hanya menangis, marah kepada diri masing-masing karena membiarkan sang Ibu sendirian saat ajalnya menjemput.


Yuri dan adik laki-lakinya. Mereka benar-benar tidak saling berbicara, air mata dan tangisan menjadi alat komunikasi mereka seharian ini. Duduk berdampingan dengan gaun hitam Yuri sementara Junghwan dengan pakaian formal hitamnya. Menatap orang-orang yang melaksanakan penghormatan terakhirnya pada Jihan. Merasakan tangan mereka menepuk bahu memberi semangat dan mendengarkan pertanyaan bodoh yang mereka celotehkan, 

apa kamu baik-baik saja?


Tentu saja tidak. Tak usah bertanya pun, seharusnya mereka tahu jawabannya apa.


Siapa yang akan baik-baik saja jika satu-satunya orang tua yang kamu miliki akhirnya meninggalkanmu juga. Masih jelas dalam memorinya, saat Yuri menangis melihat ayah dan ibunya bertengkar hebat. Bagaimana sakit hatinya saat seorang Ayah, yang ia anggap sebagai pahlawan dalam keluarganya meninggalkan Yuri demi perempuan lain.

Semuanya masih sangat jelas dalam kenangan. Dan hari ini dia harus kembali merasakan bagaimana sakitnya di tinggal pergi orang yang paling ia sayangi.



Entah sudah berapa jam Yuri hanya duduk, melamun dan sesekali kembali menangis. Sanak saudara yang mengurusi para pelayat terus memintanya untuk makan. Tapi perut yang sudah kosong sejak semalam bahkan tidak meminta jatah makanannya.


"Yuri."

Sebuah suara menginterupsi. Kepalanya yang tertunduk hanya bisa melihat sepasang kaki dengan kaus kaki putih. Tidak ada bahkan tenaga untuk mengangkat kepalanya, membuat orang itu akhirnya menjatuhkan diri duduk di hadapan Yuri. Kakinya menyilang dengan sepuluh jemari tangannya yang saling terpaut.



Berduka memang identik dengan pakaian hitam. Ya, perempuan ini memang mengenakan pakaian serba hitam. Tapi, pergi ke rumah duka dengan ripped jeans dan kaos polos...


Sungguh tipikal seorang Choi Yena.



***


Tanpa mengatakan apa-apa selain mengulurkan tangannya pada Yuri, sekarang Yena berhasil membawa Yuri keluar dari ruangan penuh air mata buaya itu. Duduk bersandar pada satu pohon ek di samping rumah duka. Merasakan angin sore yang berhembus pelan, menyapu wajah sembab milik Yuri dan mengeringkan sisa-sisa air matanya. 

Ekspresi datarnya sedikit bereaksi saat ujung-ujung rambutnya yang terurai menusuk-nusuk pipinya saat terhembus angin. Jemari Yena terarah pelan menyelipkan surai kecoklatan itu pada belakang telinganya. Membuat wajah sedih Yuri semakin terlihat jelas tanpa terhalang rambut-rambut yang menari tertiup angin.


Pemandangan di sekitar sebenarnya cukup indah jika saja ini bukan hari yang buruk. Angin musim kemarau yang semakin kencang bertiup, menjatuhkan daun-daun yang mengering dari batangnya. Matahari yang sudah condong ke barat mengeluarkan cahaya keemasannya. Wewangian dari tanah dan rumput yang sudah beberapa minggu tidak tersiram air hujan. Dan bersama perempuan ini. Untuk beberapa saat Yuri merasa nyaman.


Sebelumnya Yena pergi ke arah parkiran. Mengeluarkan sebuah kantong plastik dari dalam jok motornya. Dan sekarang kantong ini sudah ada di pangkuan Yuri. Terasa dingin karena di dalamnya ada sekitar 3 bungkus stik es krim melon dan satu cup besar es krim vanilla. Sisanya banyak di isi dengan macam-macam makanan ringan.

Tanpa repot-repot menyuruhnya makan seperti orang lain, Yena langsung membawa makanan itu kepada Yuri. Membukakan sebungkus roti selai dan menaruhnya di tangan kurus perempuan itu.

Yuri menggigitnya sedikit. Bukan karena perutnya yang mulai meminta jatah makanan, tapi karena Yuri menghargai usaha Yena melakukan hal ini. Yang sebenarnya sederhana tapi membuat hatinya menghangat.


"Kenapa baru datang?"

Melihat jam sudah menunjukkan pukul 4 sore dan Yena baru saja datang, Yuri bertanya. Padahal dia sudah mengirimkan pesan sejak tadi pagi , dan Yuri menunggunya sejak itu.

"Aku udah di sini dari jam 10 pagi."

Kunyahannya berhenti, berpaling menatap Yena yang duduk dengan kedua kaki menekuk dan lengan menggantung di atas lututnya. Pun dia yang awalnya sibuk memainkan daun yang entah di dapat dari mana, mengalihkan perhatiannya ke arah Yuri. Kemudian terkekeh geli.

"Kenapa kaget gitu sih?"

"Kamu di sini dari jam 10, tapi kita baru ketemu 10 menit yang lalu."

"Aku nunggu sepi, dari pagi rumah duka penuh sama pelayat. Mendiang tante Jihan sepertinya cukup terkenal."

Kali ini Yuri tersenyum kecil. Ibunya memang banyak di kenal. Seorang guru vocal dan menghasilkan banyak murid penuh talenta. Tidak aneh jika rumah duka hari ini di padati siswa SMU dan partner sesama guru.


"Jadi, dari tadi kamu nunggu dimana?"

"Di sini."

Matanya lagi-lagi melotot. Kemudian memukul pelan bahu Yena, membuat perempuan dengan ponytail yang sudah berantakan itu mengaduh, tapi masih di iringi dengan kekehan dari suara seraknya.

Rupanya bus yang melaju pelan tadi pagi itu membuat Yena terlambat. Begitu sampai di rumah Yuri, jenazah dan keluarga sudah berada di rumah duka. Yena akhirnya menyusul dengan sepeda motornya tapi rumah duka sudah di padati pelayat. Akhirnya dia mengalah dan menunggu di luar setelah mendengar kabar bahwa Yuri sudah tidak se-histeris tadi pagi.


"Kenapa gak masuk aja sih? Dari pada duduk di sini berjam-jam kaya orang idiot?"

"Nggak ada orang idiot secantik aku."




Sore itu Yuri sedikit lupa dengan kenyataan jika Ibunya sudah pergi.

Perempuan itu sama sekali tidak memintanya untuk ikhlas atau mengatakan jika semuanya akan baik-baik saja. Tanpa mengingatkan lagi luka itu dan bersikap seperti biasanya. Mengobrol dan bercanda seperti yang mereka lakukan setiap hari, membuat Yuri tanpa sadar lupa dengan segala perasaan sedihnya.

Sampai saat ini, Yuri bersyukur ada Yena sebagai sahabatnya. 

AnomalyWhere stories live. Discover now