"Mamah itu, bener-bener ya..."
Mata yang sejak tadi berkaca-kaca, perlahan menurunkan air matanya. Melihat 2 buku tabungan dengan angka nominal yang cukup besar pada masing-masing bukunya dan disana tertulis atas nama Yuri dengan Junghwan sebagai pemiliknya. Padahal Yuri tidak pernah merasa menabung uang sampai sebesar itu.
"Anggap aja warisan dari mamah kamu."
"Tapi kalau mamah emang punya uang sebesar ini kenapa nggak di pake buat operasi aja? Kenapa malah di simpen buat tabungan aku sama Junghwan?"
Yena ikut pusing, sama seperti Yuri dia pun menyayangkan keputusan Jihan menyimpan uang yang sebenarnya cukup untuk biaya operasinya beberapa tahun lalu. Mungkin jika operasi itu berjalan, Jihan masih ada di tengah-tengah mereka. Dan Yena tidak perlu melihat Yuri yang terus menangis selama seminggu ini. Yena tidak tahan, karena hatinya ikut sakit melihat perempuan itu terpuruk.
Tangannya terangkat pelan kemudian mendarat di puncak kepala Yuri, menepuk pelan di daerah sana. Berusaha menyalurkan sedikit semangat dari tepukan itu, walaupun Yena pikir itu adalah konyol.
Tapi, Yena salah besar, bagi Yuri ini bukan sesuatu yang konyol. Tangan ajaib Yena benar-benar bisa menenangkannya lewat sentuhan kecil. Bukan hanya itu, tapi tatapan sendu dan suara serak Yena pun berperan penting setiap perempuan itu berhasil menenangkan Yuri.
Dan Yena adalah orang pertama yang Yuri hubungi pagi itu ketika ia menemukan tubuh ibunya sudah kaku tidak bernyawa. Bukan tanpa alasan, tapi karena saat itu hanya nama Yena yang terlintas dalam fikirannya dan memang Yena yang Yuri butuhkan.
Satu minggu belakangan Yena semakin sering keluar masuk rumah Yuri. Rumah yang biasanya hangat oleh percakapan ringan antara ibu dengan dua anak itu, akhir-akhir ini menjadi lebih suram dan dingin. Dapur mereka sudah lama tidak mengepulkan asap, tidak ada lagi Jihan dengan tangan lihainya yang pandai menciptakan masakan jempolan. Yuri yang pada dasarnya pemalas pun lebih memilih makan seadanya, tidak ada niat sama sekali menghidupkan kembali dapur mereka. Perasaan berduka masih menyelimuti dan menghilangkan nafsu makannya.
Dan sore ini, seperti biasa Yena datang setelah pulang dari kuliahnya dengan menenteng dua box bekal makanan. Di ruang tengah sudah terlihat Yuri sedang menangis, duduk menghadap meja penuh berkas dan dokumen penting milik Jihan dan keluarga. Di antaranya ada dua buku tabungan itu, Yuri menjelaskan semuanya dengan suara tersendat-sendat. Jika dia menemukan tabungan itu di antara dokumen pribadi milik Ibunya.
Seperti menemukan berkarun-karun harta, tapi percuma jika rasanya seperti uang ini adalah pengganti nyawa Jihan.
"Tau nggak, rasanya kaya mamah nganggep aku lebih bahagia sama uang dari pada sama mamah."
Kepala Yena miring berusaha melihat Yuri yang tengah menunduk terisak, menjadikan rambutnya tirai dan menutupi sekeliling wajahnya. Yena tidak suka jika sudah seperti ini, Yuri yang menangis benar-benar kelemahannya. Dadanya ikut sesak, hatinya ikut terluka.
Yang harus ia lakukan adalah menghentikan Yuri menangis, maka tangannya mulai menarik tubuh Yuri kedalam pelukannya. Membiarkan wajah perempuan kurus itu tenggelam di ceruk lehernya. Tidak apa-apa jika lehernya menghangat oleh deru nafas Yuri. Tidak apa-apa jika kaosnya basah oleh air mata Yuri.
Asalkan Yuri tidak menangis sendirian.
"Jangan ngomong kaya gitu, yul. Lagian tante Jihan mulai nabung uang itu dari jauh sebelum dia sakit. Dan soal kenapa nggak pake uang itu buat operasi, karena emang awalnya itu buat tabungan masa depan kamu sama junghwan dan nggak mau uang itu di pake buat hal lain. Tante Jihan sayang kalian berdua dan uang itu salah satu bentuk kecil dari besarnya rasa sayang beliau. Dan kamu harus hargain itu."
Lengan satunya melingkar di belakang leher Yuri, sementara tangan satunya menepuk punggung ringkih perempuan itu. Puncak kepala Yuri yang beradu dengan pipi Yena, membuatnya sesekali dapat mencium aroma shampoo Yuri.
Tidak ada lagi percakapan, Yena hanya membiarkan Yuri menangis. Sampai perempuan itu lelah dan tertidur di pelukannya.
YOU ARE READING
Anomaly
FanfictionJika dunia enggan menerima kita. Maka sudikah kamu, menggenggam erat tanganku dan bersama kita menciptakan dunia baru yang hanya aku dan kamu pemiliknya ? Lalu, jika dunia masih menolak. Sudikah kamu bertemu lagi denganku di kehidupan selanjutnya? S...