Lagi-lagi bangun dengan kepala berat dan mata sembab. Setelah semalaman menangis dan membuat kaos Yena basah kuyup, Yuri tertidur dan tidak ingat apapun. Makanan yang Yena bawa tidak sempat yuri sentuh. Bahkan ia tidak ingat kapan Junghwan pulang dari sekolahnya.
Begitu bangun, dia sudah ada di ranjang kamarnya dan memeluk seseorang. Lengan orang itu yang dia jadikan bantal dan dan lengan lainnya melingkar di pinggang yuri.
Well, orang itu adalah Yena. Meskipun Yuri tidak bisa melihat wajah Yena karena sekarang matanya hanya berhadapan dengan sebuah leher, tapi Yuri sangat tahu aroma parfum yang mengguar dari tubuh perempuan itu.
"Udah bangun?"
Yuri mengangguk pelan begitu merasakan leher Yena yang bergetar saat dia bicara tadi. Suara seraknya semakin serak selayaknya orang baru terbangun dari tidur.
Tangannya berusaha melepas diri dari belitan lengan Yena di pinggangnya. Tapi perempuan yang lebih tua darinya itu malah merajuk dan mengeratkan pelukannya pada Yuri.
"Ish, lepasin. Tangan kamu emang nggak kebas aku jadiin bantal semaleman?"
Yena menggeleng pelan, kali ini menggesek-gesekkan pipinya pada puncak kepala Yuri yang beraroma stroberi dari shampoo yang dia pakai. Sekebas apapun lengannya Yena merasa baik-baik saja jika itu karena Yuri.
Sampai pintu terbuka, menampakan remaja laki-laki dengan rambut semrawut dan muka bantalnya. Menatap malas dua perempuan yang masih saling memeluk di atas ranjang.
"Kak, lapar."
"Di kulkas ada makanan yang kemarin aku bawa. Angetin aja."
"Males, Kak Yuri tolong angetin dong."
"Iya ben-"
"Angetin sendiri sana, ganggu orang tidur aja."
Yuri mendecak kesal, Yena benar-benar tidak mau melepas pelukannya. Padahal dia sendiri lapar, sejak kemarin siang perutnya tidak terisi apapun bahkan segelas air pun tidak.
"Hallooo, ini udah jam 8 bukan jam nya tidur. Kata mendiang mamah juga jangan bangun siang-siang nanti rezekinya di patok ayam."
Dan tangan jahil Junghwan beraksi, menarik selimut yang menutupi tubuh dua perempuan itu. Kemudian membuka tirai lebar-lebar sampai cahaya matahari pagi itu masuk lewat jendela dan menerobos pupil mata Yuri dan Yena.
"Junghwan! Tutup lagi nggak gordennya?! Silau tau!"
Setelah itu Junghwan kabur dengan tawa jahatnya.
Dalam diam, yuri tersenyum, merasakan kembali kehangatan di dalam rumahnya. Junghwan pun mulai berangsur-angsur menunjukkan sifat jahil dan cerianya, tidak lagi murung seperti satu minggu belakangan ini.
"Ayo bangun ah, sekarang aku harus gantiin posisi mamah. Pagi ini aku mau belajar masak, terus nanti nyuci udah numpuk banget. Ayooo, let's gooooo."
Dan tanpa Yena sadari sendiri, lengannya melonggarkan pelukannya pada Yuri. Bibirnya tersungging senyuman kecil. Perempuan pemalas ini mau berubah dan tentu saja Yena harus mendukungnya.
****
Box bekal yang Yena bawa kemarin sore berisi nasi dengan lauknya. Ada Ayam mentega dan perkedel kentang. Yuri selesai menghangatkan semuanya dan berniat menambahkan telur goreng atau sosis atau nugget atau apa pun itu. Tapi lemari dingin nya benar-benar kosong.
Hanya ada beberapa buah wotel yang sudah layu dan sekotak susu yang hanya tersisa setengahnya.
Yuri mendesah, sepertinya dia harus pergi ke supermarket dan membeli bahan-bahan untuk mengisi kembali lemari dinginnya. Barulah dia benar-benar bisa memulai kembali kehidupan.
Satu minggu rasanya sudah cukup berlarut-larut dalam duka. Yuri harus bangkit, ada Junghwan dan dirinya sendiri sebagai tanggung jawabnya. Menerima kepergian Ibunya masih terasa sulit, tapi sesulit apapun harus dia hadapi. Yuri bisa melewati masa-masa sulit ketika Ayahnya pergi meninggalkan keluarganya, maka Yuri meyakini dirinya sendiri jika kali ini pun dia bisa melewati masa-masa sulit itu.
Niat awal Yuri untuk mulai belajar memasak sepertinya harus tertunda.
"Junghwan! Cepet sini katanya mau makan? Kak Yena juga sini jangan tidur mulu."
Tidak sampai satu menit, dua manusia itu datang dari kamar yang berbeda. Sama-sama muka bantal dan berambut kusut. Hanya Yuri yang terlihat manusiawi setelah tadi sempat mencuci muka dan mengikat rambutnya.
Yuri hanya diam melihat Junghwan dan Yena memulai sarapannya. Perutnya tiba-tiba terasa penuh hanya dengan menonton keduanya makan.
Apa Jihan pun dulu seperti ini? Beliau juga jarang terlihat ikut sarapan dengan kedua anaknya. Hanya menonton dari seberang meja, sambil sesekali bertanya apa masakannya enak atau tidak.
"Yul, enak banget ini, kamu jago deh."
"Apa sih, orang Kak Yuri cuma ngangetin."
"Ya itu, jago banget ngangetinnya."
"Oh kalo itu sih iya."
Keduanya langsung terdiam begitu mendapat tatapan jengkel dari seorang Jo Yuri. Tangannya sudah mengepal-ngepalkan tissue. Lemparan pertama berhasil mendarat di dahi Yena sementara satunya sedikit meleset hanya mengenai bahu Junghwan.
"Berisik banget sih."
"Lagian mana katanya mau belajar masak? Ini sih semua masakan yang aku bawa dari rumah."
"Nggak ada bahan, kulkasnya kosong banget. Nanti anterin ke supermarket ya?"
Untuk beberapa saat Yena berhenti dari aktifitas menyuapnya. Melihat Yuri tidak yakin.
"Hari ini banget?"
"Iya, bisa nggak?"
"Aku udah ada janji, besok aja ya?"
"Janji sama siapa?"
"Sama Jihoon."
"Oh, yaudah."
Yuri hampir saja lupa. Jika Yena bukan sepenuhnya milik Yuri.
btw, ini penampakan Junghwan.
Treasure13's So Junghwan. Tapi di ff ini aku ganti marganya jadi Jo Junghwan h3h3
YOU ARE READING
Anomaly
FanfictionJika dunia enggan menerima kita. Maka sudikah kamu, menggenggam erat tanganku dan bersama kita menciptakan dunia baru yang hanya aku dan kamu pemiliknya ? Lalu, jika dunia masih menolak. Sudikah kamu bertemu lagi denganku di kehidupan selanjutnya? S...