Shoukudaikiri

396 35 7
                                    

[]Masakan Legendaris[]

|Shoukudaikiri Mitsutada x Reader|


|Link starto!|

   Penerbanganku ke Mongolia dipending hingga beberapa hari, lantaran badai petir. Editor dan asistenku menelpon, aku dibebas-tugaskan selama seminggu di Kyoto, Jepang.

  Aku adalah kritikus makanan. Dilahirkan sebagai pemilik lidah yang sensitif dan perasa. Obsesiku adalah mengevaluasi dan benar-benar meremedial cita rasa masakan lewat tanggapan serta riset kecil-kecilanku.

  Kemarin, salah satu restoran tradisional di Kyoto kukunjungi, aku mengekspos penilaianku kepada restoran ini ke media. Aku sudah mentransfer naskah kritik yang kutulis beserta laporan-laporan lain ke editorku, yang nanti, bakal diunggah ke blog pribadiku. Sekarang, aku bebas.

Aku sendiri, tidak punya agenda jalan-jalan. Jepang luas, bereklorasi adalah hal nekat. Aku tidak punya apapun untuk dilakukan kecuali tidur siang dan duduk di balkon.

  Di hari kedua, penghuni kamar sebelahku bertamu. Aku bercerita banyak sekali kepada Tuan Tsurumaru. Terkait kebosananku, Tuan Tsurumaru merekomendasikanku untuk berolahraga dan baca koran harian. Sejurus setelah Tuan Tsurumaru balik, kupikir, wajib kulakukan saran tadi.

  Kuambil lembaran koran beraksara hiragana di meja resepsionis, dan menguliki banyak artikel soal makanan. Dikatakan di Kyoto, berdiri suatu restoran legendaris di kaki gunung Inahari, jauh di bawah kuil utama Fushimi Inari Taisha. Restoran ini dikenal sebagai spot kuliner paling tidak diketahui khalayak. Namun dituturkan oleh kritikus makanan lokal, syarat untuk makan di restoran ini yakni; kau diizikan kemari sekali, jika ingin lebih, bayaran yang dipungut sangat mahal.

  Dan bukankah aku sedang di Kyoto? Dan, aku punya cukup kuota untuk mengakses Gugel maps? Mengapa tidak kubuktikan pendapat-pendapat ini dan mempublikasikan segala yang lidahku rasakan kepada dunia?

  Keesokan hari, aku berkelana. Gunung Inahari dimuliakan, banyak dikunjungi turis manca negara dan pekerja sipil seperti arkeolog dan ahli paleontologi. Aku tidak kesusahan untuk berpijak di keramaian Inahari. Namun, sesuai informasi yang kubaca lewat blog-blog pemetaan, restoran misterius ini berbelok ke tenggara ke hutan-hutan dan perlu seharian untuk tiba.

  Dari hotel, aku tiba di kuil pukul sembilan yang jika dihitung-hitung, memakan waktu dua jam. Dan untuk menelusuri hutan tanpa penghuni, aku perlu lima jam. Ini gila!

  Fajar merengsek, lenyap dibalik renda-renda pepohonan yang meranggas. Badai petir, yang diramalkan bakal terjadi, dan yang adalah faktor penunda penerbanganku bakal terjadi!

“Apa yang Nona cari?” Tanya nada bariton yang berat. Aku terdongak, dan meremukkan rerumputan yang kuremas di telapak tangan ketika menganalisis lelaki ini.

“Ano, saya sedang, em, aku berniat untuk makan di restoran legendaris.” Kataku, lirih dan tergagap-gagap. Ia mencondongkan badan kebawah, menodong obor yang ia pegang untuk melenterai wajahku yang bau tanah. Ini canggung.

“Jangan takut. Mari ikut.” Ini mencurigakan, bukan? Aku bangkit, dan bagaimanapun, mengekori pria pemakai eye patch ini. Meski berupaya berbayang terkait akhir yang bahagia, aku tak bisa melenyapkan kengerian dari pilihan ini.

  Kami seperti berputar-putar di hutan. Dan tiba di rumah tradisional yang megah dan luas. Ia mempersilakanku tinggal di ruang tamu, dan tiba-tiba pria tadi melucuti jubahku.

“H-h-hei!” Ucapku, mengungkapkan ketidak-nyamanan lantaran tidakan ini.

“Maaf. Seperti ini cara kami, orang Jepang, menjamu dan melayani tamu. Kukira kau bukan orang asli, jadi aku maklum. Baiklah, jika begitu, kau boleh lepas jubah beledumu sendiri. Aku punya mantel bulu yang hangat sedangkan jubahmu kukeringkan di api unggun.” Ah, jadi begitu. Aku berburuk sangka. Lantas kulepas jubah hadiah dari Tuan Tsurumaru, dan mengancingkan satu-persatu mantel yang pria baik ini janjikan.

Ia, pria bermata satu, duduk di meja pendek disebrangku seraya menghidangkan berbagai menu daging, dilengkapi teh, ke meja.

“Kita belum berkenalan. Namaku Shoukudaikiri Mitsutada. Aku adalah koki sekaligus pemilik restoran legendaris.” Seketika, jantungku berhenti. Inilah legenda yang dilegendakan di seantero Jepang!

“Nama saya [Name] [Last Name]. Tolong jangan sungkan dan panggil saya [Name] tanpa embel-embel apapun, Tuan!” Kataku, kegirangan.

Ia terkekeh geli. “Panggil aku Shoukudaikiri, kita seimbang dan ini adil. Baiklah, kau harus mencicipi masakanku.”

“Bagus sekali, Shoukudaikiri, saya kritikus makanan Perancis. Demikian, saya bisa menduniakan rempah-rempah di masakan anda kepada seluruh pengguna internet!” Ucapku, gembira, diuliki senyum kerucut yang biasa kubuat untuk momen spesial.

“Tunggu, [Name]. Sesuai yang dikatakan banyak orang. Kau punya kesempatan sekali untuk makan masakanku. Dan kau tidak kuizinkan mengumumkan sesuatu yang berlebihan.” Shoukudaikiri sangat suram.

“Bisa kau jelaskan, barangkali saya bisa bantu.” kudesain wajahku seacak-acakan mungkin.

“Bahan yang kugunakan, susah diperoleh. Cukup tentang ini, kau boleh makan.”

  Aku tidak paham apapun. Dan percaya atau tidak, rasa dari sup yang ia tuangkan ke nasi, betulan surgawi. Potongan dadu daging, berguling-guling dan pecah di mulutku. Dan teh yang ia racik, sangat segar seperti diteteskan jeruk. Aku nyaris kejang-kejang lantaran kenikmatan ini.

  Aku balik setelah dini hari secara diam-diam. Ia menolak untuk kubayar. Dan aku balik ditemani abnormalitas. Keesokan hari setelah ini, aku tidak berniat mengetik laporan dan gundah.

  Apa yang Shoukudaikiri pikirkan? Ia bisa sukses sebab berita yang kukirim ke media masa. Aku berkeinginan untuk paham persoalan yang ia sematkan di teka-teki ini. Lusa, aku kembali ke restoran Shoukudaikiri. Melanggar aturan yang telah dunia camkan.

  Aku mengetuk-ngetuk pintu geser di serambi, dan Shoukudaikiri lantas terkejut.

“Apa maumu.” Ia dingin sekali! Ia tidak seperti Shoukudaikiri yang kukenal kemarin. Hatiku terasa retak.

“Tolong, biarkan saya menyisir komponen masakanmu sekali lagi. Kemarin, aku tidak bisa menyempurnakan hipotesis penilaianku kepada makananmu. Ini bisa jadi pemublikasian makanan yang hebat! Saya terkesima, Shoukudaikiri, saya ingin lagi.” Ucapku sendu.

Ia mengelus-elus puncak rambutku.

“Kau. Banyak pelangganku yang bilang persis seperti ini. Dan bayaran kali sekarang, untuk kesempatan kedua-kali, sungguh mahal bagi mereka.” Balas si pria. Ini dia! Dikutip dari sumber manapun, bayaran untuk tiket makan kedua sungguhan besar! Dan, tiada satupun yang membahas sensasi makanan kedua.

“Saya punya uang! Walau seharga Lamborghini pun, bakal kubayar!” Kataku, lantang.

Shoukudaikiri menautkan tanganku ke pegangan yang keras, seperti, mengantisipasi kalau-kalau aku kabur. Ia membimbingku ke belakang kebun rumah

“Mari kita lihat. Ini adalah dapurku. Jangan terlalu bereaksi. Karena sudah kubilang, bahan-bahan yang kugunakan sangat langka.” Shoukudaikiri membukakan pintu.

Dan

Ini

Dapur ini

Sangat berantakan

Tidak

Menurutku,

Ini,

Ini, sangat tidak lazim

Aku tidak bisa mendeskripsikan lebih jauh,

Daripada,

Sebentuk dapur yang dipenuhi darah dan mayat terpotong-potong.

Kanibalisme

“Kau! Kanibal! Jauhkan tanganmu!” Aku meronta-ronta. Dia, memanfaatkan pegangan di tanganku, untuk memblokir aksesku kabur.

“Aku kehabisan bahan untuk merebus sup.” Senyum ini, dibuat-buat! “kau sudah paham, bayaran untuk tiket kedua sangatlah mahal. Beberapa yang bersikeras, manusia-manusia itu, kumasak jadi potongan dadu yang nikmat.”

Jantungku melompat-lompat. Tanganku berkeringat. Mataku berair, dan basah. Aku tak ingin mati. Dia! Dia pembuat sup berbahan daging manusia yang kurang ajar!

“Sayang sekali, kau terlalu cantik untuk dijadikan daging panggang atau sup.”[]

|Touken| |Ranbu| |Oneshoot|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang