Tsurumaru

318 18 6
                                    

Buntelan cumulonimbus purna sirna. Kelopak dafodil mekar merekah, menunjukkan intensitas kuning pucat yang menyenangkan. Pohon-pohon cemara melampirkan keelokan sejati. Gelontor halilintar tak lagi menyentak-nyentak, terambil alih oleh intensitas sinar kekuning-kuningan yang terasa sejuk; sangatlah melengkapi temperatur membekukan musim semi.

Semi telah tiba, salju pelan-perlahan sirna.

Fase hibernasi hewan-hewan berbobot ekstrim usai, tahap penghimpunan kacang badam mestilah dimulai.

Kicauan burung warna-warni menyemarakkan pagi, misuh-misuh kelinci albino acap kali dideteksi sang serigala. Hutan nampak ceria, diwarnai berbagai spesies bunga terompet yang bergelayut di tangkai-tangkai ramping sewarna arbei.

Kau berdiri di pinggir stepa, mematung, mengapresiasikan betapa indah jejeran pepohonan melalui pemampatan sejumlah binar di manikmu.

Sebuah chestnuts jatuh ke kepalamu dari ranting-ranting kokoh yang membentuk diagram abnormal dipendapatmu. Bentuk buah ini aneh, coklat, unik, kau tidak paham bagaimana semi bisa sebagus ini untuk dinikmati. Sama sekali tidak.

Kau, memungut buah yang jatuh akibat gravitasi tersebut. Memasukannya ke mulut tanpa basa-basi.

Walah walah...

Tidak enak. Keras. Gigimu seolah di suruh menggiling batu sedimen yang sempurna mengeras.

Ekspresimu bermetamorfosis jadi muram, menghitam usam diiringi gelombang angin yang membentuk ombak di padang yang kau pijak. Angin ini menyenangkan. Terasa dingin namun tidak lantas membersediakan sarafmu untuk mengirim rangsangan gejala flu. Tapi buahmu. Terasa,

Kurang singkron. Tidak enak.

Kau jadi kesal.

Gemeletuk gigi kau suarakan, seumpama ungkapan protes besar-besaran kepada kenyataan yang menjengkelkan.

Kau melemparkan buah ekmu jauh-jauh ke hutan, berupaya memberdayakan saraf pembatas emosi, menyingkirkan unek-unek di hati yang bercokol begitu mengakar.

Alih-alih menyibukkan diri, kau malah dilanda sunyi. Keramaian semi tak bisa menyisikan gerah dipikiranmu secara ampuh. Baik dan benar, apabila kau duduk manis di Citadel. Tapi tidak kau lakukan sebab beberapa faktor penyokong dan alasan yang sukar disanggah; bosan. Cukup simpel bukan? Tapi orang-orang Citadel—bahkan si Doktor Profesor Yagen pun—tidak punya obat untuk penyakitmu, yakni bosan.

Benda dingin terapung di udara, menempel di netramu yang nanar meratap ke kekering-kerontangan hari-harimu yang kosong melompong.

Kau tersentak. Ketika satu telapak tangan milik seseorang memblokir aksesmu mencecap keindahan alam.

Kau lantas meronta-ronta. Dan tersadar. Pupilmu melebar sekejap, mengecil kemudian. Semula takjub, lalu terbiasa ketika analisismu selesai mengidentifikasi siapa gerangan orang jahil ini.

“Terkejut?” Ucap si figur gegap-gempita Tsurumaru. Ia laksana bongkahan berlian putih yang bersinar, diliputi pendar putih, enak dipandang. Surai Tsurumaru ditiup angin, acak-acakan sudah rambut lelaki ini; secara harfiah begitu, seorang lelaki dewasa. Ia, si putih tanpa noda, tertawa. Puas sekali, sebuah pelampauan yang berhasil.

“Kuakui kali ini, ya.” Balasmu singkat.

Ia bertekuk lutut, dan menyeruakkan kebahagiaan berlevel tinggi di detik yang sama; Membukakan apa yang selama ini ia sembunyi-sembunyikan di punggung belakang. Serangkaian bunga sewarna batu rubi yang diikat seutas pita bergradasi keungu-unguan.

Tsurumaru terdongak, menyerukan tatapan intens kepadamu.

“Sebuket Rhododendron untuk Aruji.”

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 12, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

|Touken| |Ranbu| |Oneshoot|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang