2.

57 26 0
                                    

"Bu, saya nasi goreng nya satu."
"Nasi goreng satu, seperti biasa."
Meyda menoleh bersamaan seorang laki-laki menengoknya.

"Nasi goreng nya tinggal satu porsi. Gimana Mas Mbak?" Tanya seorang penjual nasi di kantin sekolah.

"Saya bu. Saya pesen duluan tadi." Meyda dengan nada agak memelas.

"Yang dateng pertama aku bukan kamu. Buk. Buat saya aja." Timpal lelaki tersebut.

"Ini Mas. Nasi goreng nya. Nggak usah bayar." Sang penjual memberikan sebungkus nasi goreng kepada seorang lelaki tersebut. Lelaki tersebut memicingkan senyum meninggalkan Meyda.

"Meyda. Kau belum makan bukan? Aku membawakanmu makanan." Erlan tiba-tiba datang membawa bekal makanan. Meyda masih merasa tak adil sebab kejadian tadi.

"Ayo, ayo. Udah laper nih." Erlan menarik Meyda menuju meja kantin.

"Kamu makan duluan. Aku masih ada keperluan." Erlan meninggalkan Meyda yang tengah duduk sambil menyantap makanan yang dibawanya.

'Sok sibuk sekali si Erlan.' Pikir Meyda sembari menggelengkan kepala.

"Meyda, dari mana aja sih. Aku nyariin kamu dari tadi." Airin mendekatinya, dan duduk di samping Meyda.

"Aku gak bawa bekal nih. Minta dong." Pinta Airin. Meyda hanya tersenyum melihat tingkah Airin. Meyda menyodorkan makanannya pada Airin.

"Enak. Kamu yang buat?"

"Bukan. Ini dari temen aku. Aku bisa memintanya membuat lebih banyak lagi jika kau mau."

"Benarkah? Baiklah. Aku memegang perkataanmu." Jawab Airin dengan senyumnya. Di awal kelas 3 ini, ia bertemu dengan Airin. Airin yang memiliki wajah putih pucat pasi, berbadan kecil. Ia terlihat cantik, bahkan banyak lelaki mengharapkan hatinya. Meyda tak berteman dengan Airin karna kepopulerannya, namun karna ketulusannya.

"Aduh.." Meyda terjatuh. Meringis kesakitan. Ia sepertinya menabrak seseorang. Airin yang disampingnya, membantu Meyda berdiri kembali.

"Gara gara kamu temen aku jat--" Airin memenggalkan perkataannya mengetahui seorang lelaki yang menabrak Meyda.

"J-ji-min. Maaf kami nggak ngeliat kamu tadi." Airin sedikit membungkuk pada seorang yang telah menabrak Meyda yang tak lain yaitu Jimin. Airin segera menarik tangan Meyda meninggalkan Jimin.

"Rin, kenapa buru-buru sih." Meyda dan Airin kini duduk di bangkunya.

"Kamu tahu Jimin tadi kan?" Tanya Airin tergesa-gesa.

"Nggak tuh. Tapi--"
"Kan, kamu kenal?"
"Apaansih Rin, aku belum selesai ngomong. Tadi di kantin sempet ada cek-cok sama dia." Jelas Meyda membuat Airin membulatkan matanya.

"Beneran kamu baru kenal dia?" Tanya Airin membuat Meyda kewalahan menjawabnya. Bukannya seharusnya Meyda yang marah atas tindakan Jimin menabraknya tadi? Kenapa malah Airin yang heboh?

"Aku saranin jangan deket-deket sama dia. Dia bisa melakukan apa yang dia mau." Meyda tertawa terbahak-bahak mendengar tuturan dari Airin.

"Rin, dia manusia aku manusia. Apanya yang ditakuti sih?. Memang dia siapa bisa ngelakuin semua?" Meyda masih tak hentinya menertawai perkataan Airin tadi. Membuat Airin bingung.

"Males ah jelasin lagi. Pokoknya jangan deket deket." Meyda hanya bisa mengangguk kan kepalanya agar Airin merasa puas atas jawaban Meyda.

Tak lama kemudian, Jimin datang ke kelas bersama teman-temannya. Ia seperti artis saja digerumuni banyak orang. Apanya yang istimewa coba?. Jimin duduk dibangkunya.

"Rin, kok dia ngikutin kita sih?" Meyda yang membaca bukunya tertegun melihat Jimin tengah melirik ke arahnya.

"Jimin? Memang dia sekelas sama kita lah." Airin menepuk tangannya tepat di dahinya.

"Loh, pagi tadi perasaan nggak ada deh." Meyda menggaruk belakang tekuk lehernya saat Jimin memicingkan senyum nya pada Meyda.

"Kayak nggak tahu dia aja. Dia itu seperti penguasa tahu. Pokoknya aku gak mau bermasalah sama dia." Tutur Airin.

"Heran deh, kamu selama sekolah disini beneran nggak pernah tahu tentang Jimin?" Airin menanyakannya sudah hampir keberibu ribu kali. Membuat Meyda memutar bola mata malas.

"Enggak Rin. Oke. Mau fokus baca buku lagi."

Di depan gerbang sekolah, Meyda menanti Erlan. Akhir-akhir ini Erlan seperti tak biasanya. Padahal sesibuk apapun Erlan, ia pasti mengabari Meyda.

Ekhemm..

Meyda menengok ke belakang mendengar deheman seorang pria.

"Erla--"

Niat Meyda membicarakan baik baik dengan Erlan. Tetapi setelah ia membalik badan, yang ia dapati bukanlah Erlan.

Seorang lelaki yang ia nampaki sekarang menatapnya sendu. Dengan baju sekolah tak rapi. Kemeja sekolah yang keluar seperti tidak mematuhi peraturan sekolah. Meskipun sudah berada di luar sekolah, tidakkah jiwanya masih pelajar?.

Lelaki itu terdiam, tak langsung pulang. Meyda mengalihkan pandangan matanya. Ia merasa risih, terus saja lelaki itu melihatinya. Meyda kembali menengok ke arah lelaki tersebut, kini seorang lelaki itu semakin dekat dengannya. Meyda nampak bingung antara tetap diam atau membuka mulut.

Disitulah temunya, entah pengakhiran apa yang pantas ditemukan nanti. Kebahagiaankah atau beribu penyesalan yang siap menyerbu.

Bahwasanya awal yang ia terima sekarang, membawa kebencian dan derita kemudian saat.

Sayangnya, hidup dalam ketidaktahuan tanpa sengaja membuat rasa ingin tahu. Tanpa tahu apakah seharusnya ia pantas menerima hal tersebut maupun tidak. Memang benar tidak tahu, kemudian menjalaninya. Itu wajar. Yang tidak wajar itu ada akhir namun temu masih dipertanyakan. Tentang pertemuan yang bersisakan sesal. Tentang perasaan yang tumbuh dan perasaan yang terkecewakan.

LIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang