Tinnn...
Suara klakson mobil terdengar. Membuat pandangan semua orang tertuju pada suara itu. Meyda melihat Jimin masuk ke dalam mobil tersebut. Pandangannya yang semula tertuju pada Jimin berubah saat Erlan sudah berada di sampingnya.
"Menunggu lama ya?" Tanya Erlan. Seperti biasa mereka berjalan menuju rumah, kadangkali menuju terminal menaiki bus.
"Kau memiliki masalah? Tak biasa kau seperti ini. Aku bisa membantu jika kau tak keberatan." Meyda menanyakan langsung inti dari keganjalan pemikirannya.
"Ya..bukankah aku harus giat belajar agar bisa sepertimu?"
"Bodoh. Hanya itu yang kau fikirkan? Baiklah. Aku faham." Jelas Meyda.
•
Meyda tak seharusnya terus berdiam diri. Ia mendengar suara perutnya berbunyi. Ia berjalan menuju dapur. Sedikit bahan-bahan untuk memasak. Namun percuma, keahlian memasaknya masih dipertanyakan. Niatnya ingin membeli makanan cepat saji namun harus menghemat uang. Ia kemudian beralih membuka buku. Yang sekarang bukanlah buku pelajaran melainkan buku novel.
Tokkk...tokkk
Meyda segera mengakhiri kegiatannya. Membuka pintu setelah mendengar ketukan pintu.
"Benarkah ini kediaman dari almarhum Jae Bum?" Tanya seorang laki-laki memakai setelan jas.
"Ya. Ada apa? Silahkan masuk dulu." Meyda mempersilahkan masuk seorang lelaki tersebut. Dilihat dari wajahnya kemungkinan berumur 30 an.
"Disini saja." Lelaki tersebut menyodorkan kertas pada Meyda.
"Toko bunga milik almarhum, sudah lama tidak terguna. Banyak perusahaan lain yang ingin mengembangkan usahanya. Adapun di kontrak ini, almarhum telah menandatangani kontrak tersebut. Jadi, anda sudah tidak mempunyai kuasa atas tanah maupun toko tersebut." Jelasnya membuat Meyda tak bisa berkata.
"Se-semenjak kapan ayah saya memberikannya pada orang lain? Tidak mungkin." Meyda terus saja tak mempercayai kenyataan ini.
"Di keterangan Surat ini sudah tertanda, anda bisa membacanya." Meyda membacanya dengan teliti.
"Saya tidak akan membiarkan toko tersebut terganti." Ia menolaknya meskipun sudah tertera tanda tangan ayahnya.
"Baiklah. Perjanjian kami dengan ayahmu tolong dibaca lagi. Ayahmu sudah setuju toko itu terganti. Jika anda ingin mengembalikan toko itu, anda harus membayar sejumlah uang sesuai surat yang tertera. Itu sudah kesepakatan." Meyda kembali membaca Surat tersebut.
'8,5 juta? Bagaimana bisa aku membayarnya?' Gerutunya dalam hati.
•
Banyak masalah yang tak mampu ia selesaikan saat ini.
"Jika anda tidak mampu membayar, toko anda resmi menjadi tanggungjawab kami. Mohon terima ini. Permisi." Lelaki tersebut meninggalkan pekarangan rumah Meyda dengan surat-surat yang masih digenggam di tangan Meyda.
Ia terdiam sejenak. Dengan apa lagi ia bisa menghasilkan uang untuk kebutuhannya saat toko sudah ditiadakan?. Lelaki tersebut memang memberinya uang atas toko yang sudah terbeli. Namun ia masih ragu jika itu belum cukup.
Ia tak habis fikir jika ayahnya memikirkan hal tersebut. Hingga yang terjadi sekarang Meyda harus berjuang sendirian. Ayahnya memang menitipkan semuanya pada ibu Erlan. Namun Meyda merasa tak enak jika semua harus terbebankan pada Ibu Erlan.
Ibu Erlan sudah menjadi kepala rumah tangga dan punggung keluarga dari Erlan. Sebab ayah dan ibu Erlan sudah lama bercerai. Ibu Erlan sudah menggantikan posisi ayah di keluarga Erlan. Ibu Erlan juga masih membiayai kuliah kakak perempuan Erlan di luar kota.
"Mey..." Meyda melihat Erlan mengetuk kaca jendela rumahnya. Ia segera membuka pintu rumahnya.
"Aku melihat seseorang datang tadi, ada keperluan apa memang?" Erlan berjalan menuju dapur. Meyda mengikutinya dari belakang.
"Oh itu, tadi dia mempromosikan produk dari perusahaannya. Dan aku tidak tertarik, kemudian dia pergi." Meyda tersenyum masam. Namun ia pandai menyembunyikannya.
"Ehm. Begitukah. Kau belum makan bukan?" Meyda menggeleng. "Kau memang payah dalam memasak." Erlan memasakkan beberapa makanan kesukaan Meyda. Niat Meyda ingin membantu namun Erlan menyuruh Meyda untuk duduk dan menanti masakannya.
Ya seperti itulah Erlan. Bersyukur sekali memiliki tetangga yang baik hati. Kepribadiannya yang memikat, siapa yang tak menyukainya? Hanya saja Meyda tak menganggap lebih. Sesama teman juga tetangga bukankah harus saling membantu?. Wajar. Itu yang ada dipikirkan Meyda.
•
Meyda berjalan menuju kelasnya. Di setengah perjalanannya, ia mendengar seseorang di lorong sekolah menjawab telepon dengan tingkah penuh kehati-hatian. Meyda berjalan mengendap endap, ia nampak kenal dengan orang tersebut.
'Jimin? Aneh.' Meyda semakin mendekat kemudian mendengarkan apa yang sedang diperbincangkan Jimin.
"Jadi, kau sudah mengambil alih toko bunga itu?. Baiklah." Begitulah akhir dari pembicaraan Jimin.
Meyda segera pergi. Sampai kelas, ia memikirkan tentang toko bunga. Jadi orang kemarin adalah karyawan perusahaan milik Jimin. Begitukah?. Hal itu membayang bayanginya saat pelajaran tiba.
"Aku saranin jangan deket-deket sama dia. Dia bisa melakukan apa yang dia mau."
Kata-kata dari Airin kini membenak di pikirannya. Mungkinkah Jimin yang melakukannya? Lantas atas dasar apa? Soal nasi goreng? Bukankah nasi goreng sudah hari lalu terjadi, dia yang akhirnya memperolehnya. Apa soal tabrakan kemarin? Bukankah Jimin yang lalai dalam melihat?. Akhh frustasi.
"Hey, kau lihat. Bekas toko ini akan terganti dengan mall." Airin memperlihatkan HP nya pada Meyda. Seketika Meyda membulatkan matanya.
"Kau tahu? Perusahaan ayah Jimin lah yang membelinya. Hebat bukan?." Meyda mengamatinya, lokasinya bukankah seperti lokasi toko bunga milik ayahnya?.
•
Kepercayaan Meyda sudah bertambah. Ia tak ragu lagi. Ia berniat menemui Jimin di sekolah ini. Ia mencari di kelas namun nihil tak ada, ia berfikiran mencarinya di lorong tempat bertemunya tadi pagi.
Tertangkap. Meyda menemukan Jimin dengan ponsel yang sekarang di pegangnya. Ia menghampirinya tanpa takut.
"Jimin" Jimin menoleh ke belakang melihat sesosok perempuan yang memanggilnya. Terpaan angin dirasakan Meyda sekarang. Bersamaan Jimin menoleh, rambut-rambut Jimin terbawa angin membuat rambutnya sedikit berantakan.
'Kenapa dia sangat menawan? Hah? Tidak. Dia adalah bajingan.' Sekalipun Meyda tersipu namun ia tidak boleh melupakan topik masalahnya sekarang.

KAMU SEDANG MEMBACA
LIE
Teen FictionAdakalanya rasa berkecambuk mesra Mengesampingkan dera menjelma asmara-- A.Jimin Sayangnya, aku terperangkap dalam kehidupanmu. Dengan kerumitan yang dulu masih menyulut, semakin menderita jika aku di dekatmu-- A.Resha •bahasa baku •budayakan beri j...