Bab 8 Kecewa

61 7 0
                                    

Seorang gadis sedang duduk di kepala kasurnya saat ini.

Di tangannya ada sebuah pensil dan buku yang sedang ia lukis dengan indah.

Rambut emasnya ia biarkan terurai dan menutupi sisi kanan dan kiri wajahnya. Manik hijau zamrudnya menatap intens setiap garis dan titik yang ia torehkan pada kertas putih itu.

Gadis itu adalah Melissa Earnoel Gabriel.

Ya, Melissa memiliki bakat sekaligus hobi dalam menggambar yang hampir tak di ketahui orang lain. Alasannya? Karena sifat Melissa yang sangat tertutup.

Satu-satunya orang yang tau bakatnya itu adalah Miranda Gabriel, wanita tua yang sudah mengurus Melissa selama ini.

Senyum indah langka milik Melissa merekah ketika ia berhasil menyelesaikan gambarnya dengan sempurna. Tatapan rindu ikut muncul ketika manik zamrud milik Melissa menelusuri gambar yang ia buat.

Bila kalian ingin tau, sosok yang Melissa gambar adalah sosok sang ibu. Seorang wanita yang sangat ia rindukan. Sungguh, hati Melissa merasa tak percaya bahwa dirinya kini berpisah jauh dari sang ibu.

Melupakan sejenak kerinduannya terhadap sang ibu, Melissa membuka laci nakas untuk mengambil kuas, cat, dan palet. Tak lupa ia juga menarik papan di samping nakas yang langsung berubah menjadi meja kecil yang cukup untuk di letakkan beberapa barang.

Melissa meletakkan barang yang ia ambil dari laci nakas dan mulai memberikan warna pada gambar yang ia buat dengan penuh kehati-hatian.

Gambar yang Melissa buat bisa dibilang sangat mirip bahkan seperti ada roh di dalamnya.

Rambut coklat panjang yang digerai di depan sebagian dan sebagian lagi di belakang, sepasang iris coklat indah yang menghiasi mata, serta wajah cantik dengan hidung mancung dan bibir kemerahan berhasil bersatu-padu menciptakan keindahan pada makhluk ciptaan Tuhan yang Melissa abadikan dalam bentuk gambar. 

Kebiasaan Melissa yang tak memperhatikan sekitar bila sudah menggambar berhasil membuatnya tak menyadari kehadiran penghuni lain kamar ini.

"Sampai jumpa lagi, Putri Filya," ujar seorang gadis berambut biru muda di hadapan Filya.

"Iya, daah," Filya menjawab lalu menutup pintu kamar.

Filya berbalik dan mendapati seorang gadis tengah duduk di kasur dan sibuk melakukan sesuatu yang entah apa.

Penasaran, Filya pun menyalakan lampu dan melihat rambut emas milik gadis itu menutupi wajahnya. Ragu, Filya berusaha memastikan identitas gadis itu.

"Melissa? Kau 'kah itu?" tanya Filya ragu karena seingatnya Melissa jarang sekali menggerai rambutnya.

"Hm? Ya, a a ada apa?" ujar Melissa gugup sambil memasukkan bukunya ke samping kasur dan membereskan cat, kuas, dan paletnya ketika menyadari kalau Filya tengah memperhatikannya.

"Kau sedang apa?" tanya Filya mendekat ke kasurnya. Sedangakan Melissa langsung mengikat rambutnya, Melissa tak mau orang lain melihat rambutnya digerai.

"Tidak ada, hanya membaca," jawab Melissa yang tentunya berbohong.

"Lalu, kuas, cat, dan palet tadi untuk apa?" tanya Filya lagi penuh selidik.

"Alexa meminjamnya. Katanya, kuas, cat, dan palet miliknya sedang dalam perjalanan kemari dan dia sedang perlu untuk pelajaran seni. Oleh karena itu, barang-barang itu ada di meja, aku lupa simpan," jawab Melissa lagi panjang lebar.

"Ooo, kukira apa," ujar Filya mengerti.

Setslah itu Melissa langsung berjalan ke meja belajar dan mengerjakan PR yang diberi. Sedangkan Filya, ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Setelah beberapa menit, Filya keluar dari kamar mandi dengan piyama bewarna merah muda dan rambut yang terurai.

"Oh ya, Melissa, apa kau tau nama depan Pangeran Cericho?" tanya Filya sambil menyisir rambut panjangnya di depan cermin.

"Pangeran Cericho?" ulang Melissa sembari mengingat-ingat.

"Iya, adik dari Pangeran Fedrik dan Pangeran II Kerajaan Federal," jawab Filya semangat berharap Melissa tau jawabannya.

"Entahlah, aku tak tau," ujar Melissa lalu melanjutkan PRnya.

"Dan tak mau tau," batin Melissa menyambung.

Filya mengerucutkan bibirnya kecewa mendengar jawaban Melissa.

"Padahal, kalau kau tau aku akan mencarinya dan menanyainya tentang beberapa hal," ujar Filya.

Melissa hanya mengangkat bahu tak peduli di sela tangannya yang menulis.

"Untunglah aku tidak tau. Kalau aku tau dan memberitahu pada Filya nama depan Pangeran Cericho, sudah dipastikan kalau gadis yang satu ini tak akan main-main dengan pertanyaannya yang kelewat banyak itu," batin Melissa membayangkan keadaan pemuda itu nanti.

Cuma informasi, Filya bisa mengobrol banyak dengan Melissa itu atas dasar ajakan Filya sendiri yang masih merasa bersalah atas tindakannya. Juga, karena Filya yang penasaran dengan kemisteriusan Melissa. Jadi, jangan heran bila kedua gadis itu banyak mengobrol.

***

Seorang pemuda ber-hoddie biru tua sedang duduk termenung di kursi taman belakang Central Akademi.

Di tangannya, sebuah bunga es bercahaya yang ia mainkan dengan santainya. Kekehannya sesekali terdengar ketika tangannya memainkan es itu.

Dan, entah apa yang dipikirkan pemuda itu, ia langsung melemparkan bunga es bercahaya itu ke arah sebuah pohon di hadapannya. Namun, sebelum bunga es bercahaya itu bersentuhan dengan kulit kayu pohon di depan pemuda itu, bunga es itu hilang tanpa jejak.

"Sudah kubilang jangan gunakan sihirmu itu. Apa kau belum puas sihirmu tersegel, hah?" ujar suara berat yang sangat familiar di telinga pemuda itu.

Pemuda itu menoleh untuk melihat sang pemilik suara yang menyebabkan sepasang manik biru tuanya bertubrukan dengan sepasang manik coklat orang itu,

"Hm?" ujar pemuda itu singkat lalu balik menatap lurus ke depan.

"Kau sudah kembali? Bagaimana keadaan?" tanya pemuda itu datar.

Sosok yang menerima pertanyaan pemuda itu tentunya tak perlu menjawab pertanyaan retorik pemuda itu. Jadi, ia memilih menjawab pertanyaan kedua.

"Cukup baik, terutama tanpa keberadaan kau di sana," jawab sosok itu ketus lalu duduk di samping pemuda itu.

Pemuda itu hanya tersenyum kecut, "baru saja aku merasa kau peduli padaku, Kak. Tapi ternyata kau tak pernah berubah, kau selalu membenciku dengan segala yang aku miliki, aku menyesal telah menantikan kasih sayangmu, Kak," batin pemuda bermata biru tua itu kecewa.

"Kukira kau sudah peduli padaku, Kak," gumam pemuda itu hampir tak bersuara.

Tapi sosok di sampingnya tidaklah bodoh sampai tak tau apa yang dikatakan oleh adiknya ia mendengar dengan sangat jelas.

"Kau terlalu naif," ujar sosok itu menjawab kalimat sang adik tanpa perasaan.

Pemuda itu menghembuskan napas, "apa salahku, Kak? Bukan keinginanku untuk lahir dengan segala kelebihan," ujarnya lagi pelan.

"Banyak. Dan bukan keinginanku juga tuh, kau jadi adikku," jawab sosok itu lagi dengan kalimat menohok.

Merasa bicara dengan sang kakak hanya akan menambah sakit hati, pemuda ber-hoddie itu pun berdiri dan berjalan meninggalkan sang kakak yang tak merasa bersalah sama sekali dengan kalimatnya barusan.

"Mau kemana?" tanya sosok yang sayangnya menjadi kakak dari pemuda ber-hoddie tanpa menoleh..

Pemuda itu berhenti dan menoleh, "sejak kapan kau peduli? Dan kau pikir apa yang akan aku lakukan kalau sudah malam begini? Sarapan?" tanya pemuda itu ketus lalu menghilang di balik tembok kokoh akademi.

Ia sudah sangat kecewa oleh perlakuan sang kakak, seharusnya ia tak perlu menunggu kedatangan kakaknya yang sudah jelas selalu ter. lam. bat.

"Mungkin, tapi aku mengharapkan hal yang lebih baik dari itu, yaitu kematianmu," ujar sosok itu tak lupa dengan seringaiannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 06, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Princess Element Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang