chap 1 :Pria berbalut hitam

91 9 27
                                    




Aku menaruh seikat bunga lily kesukaan nenek di depan batu nisannya. Ukiran namanya yang masih jelas dibaca mengingatkanku akan kehadiranya dua minggu lalu. Cuaca hujan seolah mengejek  kesedihanku. Aku bisa saja menangis sepuasnya, toh hujan akan menutupi air mataku ,tapi aku tidak bisa lagi mengeluarkan air mata. Tampaknya mataku sudah lelah menuruti perasaanku, yang bisa kulakukan sekarang hanyalah merenung . Rasanya tidak sepuas menangis, tapi cukup untuk memberitahu orang –orang di sekitarku untuk tidak mengganggu.

Sayangnya orang yang berdiri di bawah pohon, dekat gerbang pintu masuk pemakaman tidak mengerti arti dari wajah murungku. Ia telah menatapku lebih dari sejam. Aku menengoknya sesekali untuk memberi tahunya bahwa aku mengetahui kehadiranya. Namun ia tetap berdiri di sana dengan ekspresi dan posisi yang sama. Dari bentuk tubuhnya, aku bisa tahu bahwa ia adalah seorang pria. Gayanya sangatlah aneh; Jubah kulit hitam dengan celana panjang hitam, ia juga memakai sepatu pantofel dan penutup mata hitam di mata kirinya. Kepalanya pun botak berkulit hitam. Seluruh tubuhnya yang dibalut bahan berkulit hitam menunjukan tanda bahaya yang jelas.

Aku segera menyampaikan salam perpisahan kepada nenek dan mulai melangkahkan kaki ke jalan setapak menuju pintu gerbang. Pria tersebut terus menatapku dengan tatapan tanpa ekspresi. Aku mempercepat langkahku sampai aku melewatinya. Instingku terus meneriakan tanda bahaya, tapi aku yang idiot ini terus saja melewatinya tanpa ada persiapan membela diri.

Tiba-tiba, ia berjalan mendekatiku. Aku begitu takut, namun tetap memilih diam.  Anehnya ia tidak melakukan apapun. Ia hanya berjalan tepat disampingku, dia bahkan tidak melihatku. Aku tetap menatap kedepan sama seperti yang ia lakukan.

Ketika kami keluar melewati gerbang, ia mengeluarkan sesuatu dari kantungnya. Mataku otomatis menengok ke arahnya.

"Mata melihat ke depan miss. Tetap kedepan," Ia menarik gagang dari benda yag ia pegang. Ternyata itu adalah payung. Ia melebarkan payungnya dan menaungi kami berdua. Aku curiga dengan tindakannya, untuk apa ia menaungiku?

"Apa urusanmu sampai kau menatapku selama setengah jam?" tanyaku tanpa meliriknya.

"Urusan yang penting pastinya. Aku tahu arah rumahmu lurus, tapi aku harus memintamu untuk berjalan mengikutiku sebentar," Suaranya terdengar seperti orang yang sudah berumur, meskipun gayanya terlihat seperti orang lupa umur.

"Katakan saja sekarang jika kau ada urusan. Sebuah kesalahan jika aku mengikuti permintaan orang yang tidak kukenal," aku menghentikan langkahku dan menatapnya. Ia pun melakukan tindakan yang sama.

"Terlalu banyak mata dan telinga disini. Jika kau mengikutiku ke tempat yang lebih sepi, akan lebih aman,"

"Terdengar menyeramkan, maaf tapi aku telah diajarkan untuk waspada terhadap orang asing," aku memutar tubuh dan kembali berjalan, meninggalkanya.

"Dan aku yakin nenekmulah yang mengajarkan itu"

Aku menghentikan langkahku dan menoleh kearahnya. Sebelum aku bisa mengatakan sesuatu, ia kembali berkata, "Dari sikapmu, aku yakin Abigail Banter belum pernah menyinggung soal diriku selama kau hidup bersamanya. Pilihannya bijak kalau boleh jujur," ia berkata dengan santai.  Aku bisa merasakan situasi ini mulai menjadi personal.

"Kemana kau ingin membawaku?" aku menatapnya dengan tajam.

"Tidak jauh, hanya ke kedai kecil di pinggir jalan,"








...........................................................................................











"Jadi...ini tempat sepi yang kau maksud?" aku menatap sekelilingku sambil menyengit. Tempat ini seperti kedai pada umumnya, hanya saja bau dapurnya menyebar bagai penyakit, banyak juga kecoa dan tikus yang bermain kejar-kejaran di lantai, dan warna furniturenya menguning "Kedai ini tidak terlalu sepi,"

White Shadow (Avengers FF)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang