[02] - Dandelion

210 32 16
                                        

"Primrose"

Aku tak kuasa jika harus menyebut namamu. Sesegar bunga Primrose. Kunamai itu agar selalu mengingat bagaimana perasaanku saat menatapmu. Prim, Aku sangat merindukanmu.

Dandelion.

Jantungku berdegup kencang menerima surat yang lagi-lagi tidak tertulis tanggal dan alamat pengirimnya. Aku sempat meragukan surat ini, namun tidak ada yang mengetahui Dandelion selain aku. Dan di surat ini tertulis jelas bahwa pengirimnya adalah Dandelion.

Lalu dari mana Dandelion tahu alamat rumahku? Dan jika dia mengetahuinya mengapa tidak langsung saja menemuiku. Teka-teki ini belum bisa kupecahkan, namun tak ada salahnya jika surat kedua ini kubalas.

Tunggu! Kemana aku harus mengirimkan surat ini jika tidak tertera alamatnya?

Di belakang amplop ini ternyata ada tulisan tangan yang mengatakan aku harus membalas surat ini dan cukup mengirimnya ke kantor pos dengan kode Dandelion. Keningku mengernyit, malas sekali pergi keluar rumah jika hanya untuk mengirim surat. Tapi aku bisa meminta Mbok Asih.

***

20.45

"Khali tidur belom, Mbok?"

Meski dengan mata setengah tertutup dan rasa kantuk yang menempel, samar-samar suara familiar itu menembus kamarku. Ardan sudah kembali rupanya. Suara langkah kaki menaiki tangga dan pintu kamar yang terbuka seolah tidak menggangguku. Berat sekali untuk membuka mata dan menggerakkan tubuh di saat-saat seperti ini.

"Woi, kebo! Nggak ada pekerjaan lain selain rebahan? Waktunya lo check up, let's hurry up!"

Bantal dan guling yang kudekap dia tarik paksa kemudian kembali membantingkannya ke tubuhku. Tidak sakit, sih. Tapi cukup membuatku ingin kembali membalasnya dengan membantingkan batu.

"Ini bukan rebahan, tapi tidur," dalihku.

"Wake up, Khalisa!"

"NOT AGAIN!"

"Lo harus Check up!"

"No, Ardan!"

Namun sebuah pemikiran langsung menyadarkanku. Aku langsung terduduk dengan mata melotot. Ardan harus mengetahui tentang surat itu. Siapa tau aku bisa meminta bantuannya untuk menemukan Dandelion di sini. Ardan cukup populer di luar, dan itu mungkin bisa mempermudah kami.

"Lo.. sehat, Khal?" tanya Ardan dengan punggung tangan yang menempel di dahiku sambil menggidikkan bahu, memeriksa suhu tubuhku.

"Ar! Kamu tau Dandelion?"

Wajah Ardan berubah datar. Pria itu berbalik memunggungiku, "Iya, gue.."

Antara senang dan tidak sabar untuk mengetahui siapa Dandelion, aku langsung bergegas turun dari ranjang dan melangkah ke kamar mandi, membersihkan diri setelah itu berteriak,

"AR! TOLONG BAWAIN HANDUK KHALI!"

***

"Ini udah malem, Khal. Lo mau ngapain kesini?" rengek Ardan.

Sehabis check up, aku sengaja meminta Ardan mengantarku ke kantor pos untuk mengirim surat. Namun ada rasa kesal serta kecewa saat melihat bangunan di hadapanku sudah tertutup rapat dengan satu lampu menyala di luar bangunan. Pukul 23.30, kantor pos tentu saja tutup.

"Ayo balik."

Ardan sepertinya sangat lelah malam ini, dia sudah menemani Celine sepanjang hari dan harus menemaniku lagi di malam hari. Pria itu sudah seperti kakak kandung bagiku, jadi untuk memerintah saja aku tidak pernah tanggung.

Lantunan lagu fly me to the moon dari Frank Sinatra mengalun merdu di ruangan besar yang didominasi warna putih tulang. Ardan duduk di sofa dengan telapak tangan yang tak berhenti mengelus bulu lebat Chia, sesekali aku mendengarnya bersenandung kecil. Sementara aku duduk di ranjang dan berkutik dengan laptopku, memilih-milih apa film yang akan kami tonton nanti.

Kami tidak tidur satu ranjang. Ardan akan keluar dari kamarku saat aku sudah terlelap sedangkan dia akan tidur di kamar sebelahku. Hanya saja aku selalu memintanya untuk menemaniku sebelum tidur.

"The Fault in Our Stars. Kayaknya rame, Ar. Besok nonton itu aja,"

Kulihat Ardan menghentikan kegiatan mengelusnya. Dia merenggangkan kedua tangannya guna melepas penat. Dipindahkannya Chia yang tertidur di pangkuannya ke samping dengan hati-hati.

"BIG NO, film itu kan sad ending,"

"Lho, tapi spoilernya rame, Ar!"

Ardan menghela nafas, "gue gak suka film yang menyangkut penyakit. Khal, gue ngantuk. Lo cepet tidur deh." Pria itu menghampiriku, bermaksud mengambil laptop, mematikan lampu dan menyuruhku tidur.

Namun aku malah bertumpu pada sikuku. Ada cukup cahaya di kamar tidur sehingga aku bisa melihat Ardan kembali berbaring di sofa sambil mengelus Chia. Chia bergelung menyamping, menyelusup menempel pada tubuh Ardan. Dalam diamnya, aku merasa ada sosok Dandelion dalam diri Ardan.

"Ar, kamu kenal Dandelion sejak kapan?" mulutku gatal sekali untuk tidak bertanya itu padanya.

Sebuah gumaman pendek keluar dari mulut Ardan. "Sejak.. SMA," jawabnya tanpa menoleh kearahku.

"Kalian kenalan? Ehm, kamu.. tau nama aslinya?"

"Tau, nama asli Dandelion itu Taraxacum erythrospermum. Aku tau dari guru biologi."

Tunggu, apa? Taraxacum erythrospermum? Guru biologi? Aku tidak tahu tapi sepertinya ada yang salah dengan percakapan kami.

"Ar, That is not what I mean," kataku cemberut. "Khali punya temen namanya Dandelion, Ardan nggak nyambung!"

Ardan mengangkat alis dan bahu seakan ini berita baru yang tidak ia pedulikan. Pria itu menghampiriku lalu duduk di sisi ranjang.

"Lebih baik lo tidur, lupain Dandelion, lupain semua hal yang malah jadi beban buat otak lo," ucapan pria itu membuatku tertunduk. Ardan benar, tidak seharusnya aku membawa masa lalu dalam hal ini.

"And.. have a bad dream," selorohnya.

"Ardaan!"

Pria itu terkekeh pelan sambil mengacak rambutku. "gue becanda, have a nice dream. Primrose." Suara Ardan semakin terdengar seperti bisikan.

Wait! Tadi dia memanggilku apa?

Kutarik lengan Ardan sebelum dia sempat berdiri tegak. "Ar, tau dari mana kalo Khali itu Primrose?" tanyaku curiga.

"Ehm, gue.."

~ 🎬 ~

Februari, 2010.

Khalisa memejamkan matanya. Nafasnya terengah dan jantungnya berdegup amat kencang. Buru-buru ia mengistirahatkan tubuhnya dibawah pohon yang tidak terlalu lebat namun cukup membuatnya merasa aman. Sesekali gadis itu melirik ka arah yang bisa ia lihat. Memastikan bahwa para preman itu sudah tidak mengejarnya.

"Kenapa kamu lari?"

Suara itu membuat Khalisa membuka matanya dengan tiba-tiba. Seorang anak lelaki dengan wajah familiar sedang berdiri dihadapannya dengan wajah bingung. Khalisa langsung menutup wajahnya dan berharap anak itu pergi dari hadapannya.

"Tenang, aku bukan tuyul,"

Ucapan anak itu membuat Khalisa semakin menyembunyikan wajahnya. Dia merasa takut karena berinteraksi dengan orang asing. Anak lelaki itu tidak menyerah begitu saja, ia bersikeras mencoba membujuk Khalisa.

"Em, kita bisa jadi teman. Tapi namamu siapa, ya? Menurutku, aku akan memanggilmu Primrose saja."

Gadis kecil itu mulai berani menunjukkan wajahnya. "Prim.. Primrose?" tanyanya.

"Iya, sesegar bunga Primrose. Itu cocok untukmu."

"Kalau begitu aku akan memanggilmu Dandelion."

Love Behind YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang