[03] - Kambuh

130 24 0
                                    

Aku bersumpah tidak pernah memberitahukan nama itu pada Ardan sedangkan dia sudah mengetahuinya. Antara aku dan Dandelion, tidak ada lagi yang tau nama itu bahkan orang sedekat Mbok Asih. Tunggu! Apa mungkin Ardan itu.. Dandelion?

"Ehm, gue.."

Aku memasang mata dan telinga, menunggu ucapannya yang terputus.

"Lo kenapa serius banget? Gue tadi gak sengaja baca amplop di meja lo," lanjutnya santai. "Primrose itu lo, kan?"

Dugaanku salah, mana mungkin Ardan itu Dandelion. Jika memang benar pun aku pasti akan mengenal sifatnya sejak pertama kami bertemu. Ardan yang banyak bicara berbeda dengan Dandelion yang lebih banyak diam.

"Hm, iya. Dia panggil aku Primrose,"

"Wanna tell me that story?" tawarnya. Tentu saja itu membuat senyumku mengembang. Aku mengangguk dengan semangat.

Ardan duduk bersandar di sebelahku dengan bahu yang menjadi sandaran kepalaku. Dimulai dari pertama kali aku dan Dandelion bertemu, hingga akhirnya kisah perncarianku dimulai kembali setelah beberapa hari yang lalu Dandelion mengirimku sepucuk surat.

Ardan berantusias mendengarkan semua ocehanku tentang Dandelion. Malam itu, semua hal di masa lalu kuceritakan dengan penuh semangat.

***

"Sarapan hari ini apa, Mbok?"

"Eh, Non Khali sama Den Ardan sudah bangun, toh." Mbok Asih tersenyum melihatku dan Ardan berjalan kearah meja makan.

"Mbok masakin nasi bakar sama sambal kesukaan Non Khali. Kalau Den Ardan seperti biasa, asin sambal plus lalapan." Katanya bersemangat. Harum nasi bakar menguar dan memanjakan penciumanku. Tak perlu aba-aba untuk menyantap makanan lezat itu karena kami berdua langsung duduk dengan rapi.

"Ngomong-ngomong, lo kapan mau ngirim surat ke 'pujaan hati' lo itu?"

Aku mendengar ada nada mengejek dari kata-kata Ardan. "Sa-ha-bat! Bukan pujaan hati," balasku kesal. "Khali udah minta Pak Burhan buat anterin suratnya ke kantor pos," kataku lalu menyuapkan sesendok nasi dengan porsi besar.

Sialnya, setelah beberapa suapan masuk ke mulut, tiba-tiba kurasakan sakit di bagian hati dan perutku. Ingin sekali rasanya kumuntahkan kembali semua isi lambungku. Ardan yang melihat tingkah aneh ini menghentikan menyuapkan nasinya.

"Khal, lo kenapa?"

Saat ini aku sedang tidak fokus untuk menjawab pertanyaannya. Segera kulangkahkan kaki ke kamar mandi tanpa memikirkan apa-apa lagi.

Sarapan yang sudah masuk ke lambung kini kukeluarkan dengan paksa. Saat itu pula kulihat darah segar keluar dari mulut dan hidungku tanpa bisa dicegah. Kepalaku terasa berat dan pusing. Cepat-cepat kubersihkan darah yang belepotan di mulut dan hidungku dengan tisu.

Sekembalinya aku ke ruang makan, tak ada tanda-tanda Ardan dan Mbok Asih di sana. Mungkin mereka sudah selesai sarapan. Baguslah, karena aku juga tak ada niatan untuk kembali melahap sarapanku.

Kulihat Mbok Asih mondar mandir dengan wajah panik membawa tas kecil yang entah apa isinya. Saat baru saja tiga langkah keluar dari ruang makan, Mbok Asih sudah ada dihadapanku.

"Ardan mana, Mbok?"

"Ada di garasi. Non Khali nggak usah ganti baju, begini saja, ya. Biar lebih cepat."

Aku mengernyitkan kening. Apa ada sesuatu yang penting sehingga kami harus terburu-buru seperti ini? "Kita mau kema--"

"Khalisa. Naik ke mobil!" Ardan menatapku tajam. Seolah perintah itu adalah hal wajib yang tak boleh di langgar. Aku mengerti kenapa semua orang bertingkah seperti ini. Mereka mengkhawatirkanku, bukan?

Love Behind YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang