DUNIA PUNYA CERITA

55 11 0
                                    

Gelap malam bahkan suara jangkrik pun memenuhi jalan tak berujung itu, lampu-lampu temaram terus berjalan mengikuti langkah kaki yang pelan.
Suara tapakan dari flatshoes turut menemani suara jangkrik yang terus bersaut-sautan.

Naila berjalan dengan pelan menyusuri trotoar hitam-putih malam itu, digenggamannya terdapat seplastik es yang sudah mencair sedari tadi.
Sesekali dia menyedot air es nya dan menyeka air matanya. Kesedihan yang pilu dia rasakan saat itu tidak menyurutkan untuk makan, perutnya sudah meminta pertolongan untuk segera diisi.

Sepiring nasi goreng sudah tersaji didepan mata, walau hanya nasi goreng. Itu bisa mempertahankan kehidupannya selama seharian.

Kuliahnya harus terhenti karena dia belum membayar bulanan. Ah, rasanya dia mau kembali ke zaman dimakan ayah-ibunya masih ada saat itu.
Mengingat nya saja membuat Naila sangat sedih.
Teman-temanya tidak bisa membantu, dia sadar kalau nasib mereka sama.

"Dengar-dengar, Pak Arka butuh pembantu di rumahnya plus pengasuh buat anaknya," bincangan pelan terdengar dari kejauhan bangku yang di duduki oleh Naila.
Naila yang sedang menginjak nasi goreng pun terhenti sejenak.

"Bayarannya juga gede loh!" Seru perkumpulan itu dengan semangat lalu menyedot es nya dengan pelan.

Naila termengu sejenak sambil mengaduk nasi gorengnya rata. Dia terbayang-bayang wajah kedua orangtuanya dulu yang mengingkan dia menjadi sarjana.

Rasa sedih dan rindu pun berputar-putar di kepalanya. Malam semakin larut menjadi sangat acuan untuk matanya tertutup, Naila menguap lemas lalu segera beranjak dari tempat duduk untuk membayar makanannya.

"7 juta perbulan katanya." Sigap Naila memelekan matanya mendengar bayaran itu, nilai dengan rating tertinggi di hidupnya.

Ah, Naila membutuhkan uang itu. Bagaimana caranya?

Naila berjalan pelan menghampiri perkumpulan itu dengan tautan tangan yang canggung. Seorang gadis menoleh setelah tertawa lalu mengernyit bingung melihat Naila menghampiri mereka dengan pelan.

Naila tersenyum canggung lalu duduk di depan bangku perkumpulan itu.

"Saya mau-"

"Mbak mau apa?" Ucapan Naila terpotong dengan sadis.

Naila menggigit bibirnya, "Kalau boleh tau rumah Pak Arka itu dimana ya?"

Seorang gadis itu tertawa renyah lalu merangkul bahu Naila sigap. Naila terkejut mendapat perlakukan itu, rasa tegang tadi hilang dan sirna begitu saja.

"Aku tau kok maksud mbak. Mari ikut aku nanti ya," ujar gadis itu santai dan tertawa renyah.

***

Keesokan harinya Naila telah rapi dengan pakaian andalan nya.
Blouse Putihnya dan celana bahan selalu menjadi fashion setiap dia mau ngelamar kerja. Bukannya Naila tidak ada baju lain, tetapi yang menurut nya pas ditubuhnya untuk dibawa berperang seperti ini harus nyaman.

Dengan senyuman yang sumringah, dia mengunci kamar kosnya dengan semangat. Flatshoes pun tidak tertinggal di pakainya, walau sudah Kumal untuk dibawa seperti itu, tetapi Flatshoes itu banyak jasanya.

Ah, dia teringat kalau dia juga belum bayar bulanan kos. Semakin berdegup saja jantungnya untuk menghadapi dunia ini. Setelah siap, Naila berjalan pelan menuju rumah sebelah kamarnya dan mengetuk pelan sembari mengucap salam.

Munculah seonggok daging yang keluar dari rumah dengan keadaan awut-awutan, menjadi ciri khas habis bangun tidur.

Dasar, orang kaya mah beda euy

Naila tersenyum dan memberi kunci kamarnya dan mengangguk, seakan tau apa yang diucapkan oleh Naila. Gadis awut-awutan itu membalas anggukan dan kembali menutup pintu dengan erat.

Naila menghembuskan nafasnya dan tersenyum menenangkan.
Tangannya terkepal lalu meninju udara.

"Yash, aku pasti bisa."

***

4 Mei 2019 - 22.41 WIB

MY PERFECT MAID || ON GOINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang