SAKIT

22 7 0
                                    

Naila mondar-mandir. Dari dapur ke kamar, kembali lagi. Sejak dua jam yang lalu Naila hanya melakukan seperti itu.
Pasalnya, di dapur dia sedang memasak untuk makan siang bosnya. Tetapi, di dalam kamar anaknya bos sedang menangis keras minta di gendong.

Tidak mungkin Naila memasak sambil menggendong anak bosnya. Berbahaya..

Sebab itulah Naila sejak tadi hanya mondar-mandir. Memastikan masakannya tidak gosong.

"Cupp...Cupp~" Naila menepuk pelan pantat anak kecil yang digendongnya.
Tangisan masih kencang, Naila bingung harus melakukan apa.

Naila menimang-nimang tubuh kecil itu sambil berpikir apa yang kurang.
Apa dia lapar? Butuh susu?
Naila segera meletakan kembali anak bosnya dalam keranjang lalu bergegas melesat ke dapur untuk membuatkan Susu.
Mungkin dia nangis itu lapar

Ah ya, Naila belum tau nama dari anak bosnya ini. Tapi sepertinya, dia perempuan.

Naila hanya menebak-nebak saja. Naila belum tau karena belum mengekspor apa-apa.

Naila bergegas mencari botol minum untuk anak bosnya. Lalu mencucinya, dan memasukan air hangat ke dalam botol minum itu.
Mencari susu bubuk yang Naila butuhkan, dimasukan ke dalam botol yang sudah diisi air hangat tadi lalu di kocok secara teratur.

Naila mengangkat ikan yang dia goreng lalu mematikan kompor. Naila berlarian menuju kamar, dari jauh sudah terdengar jelas tangisan.
Naila mengendong anak kecil itu lalu memasukan botol itu ke dalam mulut sang anak.

Bunyi kecupan dengan buru-buru memenuhi kamar itu, dia seka pipi anak bosnya itu yang sudah basah oleh air mata.
Naila tertawa melihat betapa merah dan gembilnya wajah anak bosnya itu.

Dering telpon membuat Naila menoleh ke samping, diletakkannya balita itu ke ranjang khususnya lalu berjalan menuju telepon yang berdering tadi.

Telepon rumahnya kok ada disini? Bukannya biasa ada di ruang tamu?

Ah Naila tidak peduli itu.

Segera diangkatnya "Hallo!" sapa Naila pertama setelah telepon itu menempel pada telinganya.

Bunyi krasak-krusuk disana membuat Naila menjauhan telepon nya dan kembali menempelkan telepon nya.

"Hallo..." sapa Naila lagi mendengar tidak ada jawaban disana.

"Ah, Hallo Nai." jawab orang disebrang sana dengan cepat. Naila mengumam sesuatu lalu melihat kembali nomor nya.

"Ini aku Arka!" jelas orang itu seakan menebak kalo Naila kebingungan.
Naila mengangguk pelan dan menjawab panggilan itu.

Naila hanya diam sepanjang telepon berjalan, tuan bosnya sedang berbicara panjang lebar. Naila hanya membalas singkat, dia segan buat menjawab telepon seperti dia menjawab telepon teman-temannya.

"Oh iya, Via tolong dikasih bubur yang ada di lemari atas dapur ya Nai. Bibirnya jang-" Naila menarik ingusnya yang meleleh , Naila menggeleng-gelengkan kepala merasa kepala nya berdenyut pelan.

Dipijitnya pelan kepala beserta lehernya untuk mengurangi sakit itu.

"Nai! Naila!" panggil orang di seberang sana membuat Naila mengerjap pelan, ia baru ingat kalo dia sedang teleponan sama bosnya.

"Iya bos," jawab Naila pelan. Naila kembali memijat bahunya dengan pelan.

Setelah itu Naila menutup teleponnya mendengar bosnya mengucapkan salam, dia berjalan pelan menuju anak bosnya. Siapa tadi namanya? Via?

Via menangis kembali, walau tidak sekeras tadi. Tapi cukup membuat kepala Naila kembali berdenyut.

Baru hari pertama kerja, tapi dia sudah sakit saja. Naila mengutuk kondisi tubuhnya ini.
Bukan cuman hari ini, memang dari kemarin-kemarin tubuh Naila sudah tidak enak.

Demi uang, Naila bertaruh soal ini.

Digendongnya kembali Via untuk mengurangi rengekan itu, sambil ditepuk-tepuk.

***

Matahari yang tadinya di atas perlahan-lahan turun dengan meninggalkan warna senja menyenangkan di langit. Naila menghembuskan nafasnya. Semua pekerjaan rumah udah dia lakukan, sekarang badannya sakit semua.

Ditambah daya tubuhnya sedang down makin sakit lah badannya.

Via sudah tidur sejak tadi, sejak pagi sampai sore. Via merengek terus, Naila bingung harus bagaimana.

Bunyi deruan mobil terdengar di luar rumah, Naila berangkat dari duduknya dan berjalan menuju luar. Kamar Naila itu di ujung lorong, jadi sepanjang lorong Naila akan disuguhi dengan lukisan-lukisan penuh warna.

Naila memang tidak mengerti dengan makna-makna tersembunyi di dalam lukisan itu.

Tapi itu bagus.

Lorong panjang ini serasa jauh karena Naila berjalan amat pelan. Tapak-tapak Naila berdengung pelan, Kepala Naila kembali berdenyut dengan keras.

Naila memaksakan senyuman lalu membukakan pintu untuk bosnya itu. Arka sudah berdiri di depan pintu dengan mententeng tas besarnya.

Raut bingung ditunjukan Arka setelah melihat Naila yang pucat. Naila membungkuk lalu mengulurkan tangannya. Meminta tas besar Arka untuk dibawanya.

Arka menyerahkan tas lalu berlalu di depan Naila, Naila mengikuti dari belakang Arka dengan pelan.

Kepala nya makin berdenyut tidak karuan
Bahunya serasa di timpa sesuatu, menjadi sangat berat untuk di ajak berjalan seperti itu.

"Via mana Naila?" tanya Arka setelah melewati ruang tamu untuk menuju kamar Via.
Naila tidak menjawab pertanyaan Arka barusan, Naila hanya sibuk dengan kepalanya.

Naila tidak menyadari kalau Arka sudah berhenti didepan tubuhnya.

Tiba-tiba Naila berhenti merasa badannya menabrak sesuatu di depannya.
Naila mendongak untuk melihat apa yang menghalangi nya

Arka dengan senyuman tanda tanya, Naila hanya diam.

Tidak lama itu tubuh Naila tidak bisa lagi menahan rasa sakit itu, kepala nya serasa di hantam sesuatu yang sangat berat.
Akhirnya tubuh Naila tumbang didepan Arka. Arka secara spontan menangkap tubuh Naila yang jatuh dengan lemas.

"Nai!" Naila tidak merespon, Naila pingsan..

***
Rabu - 29 Mei 2019

MY PERFECT MAID || ON GOINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang