[4]

32 6 1
                                    

Entah mengapa makan siang hari ini sangat tidak enak atau hanya perasaan Jimin saja karena ia makan sambil berpikir. Otak Jimin begitu penuh melebihi isi lambungnya. Ia keluar ruang makan 7 menit lebih cepat dari biasanya. Jungkook yang sedang menyandarkan bahunya ke dinding dan melihat foto calon bayinya segera berdiri tegap mendengar pintu terbuka.

“Aku akan mengambil tujuh menitku di rootop, bawakan aku kopi dingin,” titah Jimin sambil memasukkan tangannya ke saku celananya dan berjalan dengan santai.

Rooftop adalah pilihan tepat bagi Jimin untuk berpikir selain dini hari, angin yang secara natural menyapu helaian rambutnya dan keramaian Seoul yang dilihat dari atas gedung 24 lantai.
Setelah Jungkook memberinya kopi dingin, Jimin menyadari perbandingan besar dari kehidupannya di kantor dan rumah. Rumahnya selalu memberikan suasana damai ditambah ia tidak pernah minum minuman dingin saat di rumah. Kehadiran Sooyi juga membuat suasana rumah sangat berbeda dan juga ia malah memikirkan tanggapan Sooyi malam itu yang terlihat terkejut dan panik karena perkataan Jimin. Sooyi malah berbicara tak jelas dan segera pamit dari hadapan Jimin padahal ia pikir ibunya juga sudah bicara dengan Sooyi.

Mengingat pernikahan yang dikatakan ibunya, ia jadi menginginkan itu saat datang ke pertemuan bisnis di mana rekan-rekan bisnisnya datang membawa pasangannya masing-masing dan bertanya padanya mengenai rencana menikah. Ia melihat bentuk kesombongan dari tujuan mengenalkan pasangan masing-masing sedangkan ia hanya bisa membahas sebatas bisnis untuk disombongkan. Ia tidak ingin kalah, ia akan mengikuti kata ibunya untuk menikah dan punya keturunan.

***

“Silakan diminum, Bu.” Sooyi meletakkan secangkir perasan jeruk dingin di meja depan Mirae.

Mirae tersenyum. Mirae sangat sering datang ke rumah Jimin untuk mengecek keadaan anaknya dan sekarang tujuannya juga sekalian untuk berbincang dan mengajari Sooyi.

“Terima kasih.” Ia meneguk jus di hadapannya. “Bagaimana hidup di sini? Apa kau merasa kesulitan?” Tanyanya sambil meletakkan gelasnya kembali dengan anggun.

Sooyi tersenyum samar. “Sedikit, Bu. Terkadang saya lupa di beberapa peraturan.”

“Jimin itu sedari kecil selalu sendiri. Seperti yang kau lihat, mungkin bagi beberapa orang normal, sikap Jimin sangat aneh.” Mirae menghembuskan napas pelan. “Dulu.. ia adalah anak yang menggemaskan.. baik hati... dan sering tersenyum.” Mirae mengeluarkan sebuah benda persegi yang tipis dari tasnya dan memberikan kepada Sooyi.

Sooyi tersenyum memandang kertas foto yang memperlihatkan anak laki-laki yang sedikit gembul dan tersenyum.

“Itu Jimin kecil,” jelas Mirae.

“Semua sikapnya berubah semenjak... dia kecelakaan.” Sooyi menegakkan kepalanya kembali menatap Mirae. Ia tidak menyangka bahwa ada cerita dibalik sikap Jimin yang aneh. Selama ini ia hanya berpikir bahwa sifatnya itu merupakan wajar di kalangan orang-orang kaya.


“Kejadiannya di Busan, tepatnya saat hari ulang tahunnya yang keempat, kakek dan neneknya mengajaknya mengunjungi beberapa tempat di Busan namun mereka ditabrak oleh pengendara yang mabuk sehingga mobil yang dikendarai terjungkir dan.... kakek neneknya meninggal.” Ia menghembuskan napas panjang.


“Lalu bagaimana dengan Pak Jimin, Bu?” Tanya Sooyi penasaran.

Mirae bangkit dari duduknya memilih mendekati jendela di ruang tamu Jimin dan memandang keadaan luar.
“Jimin selamat walaupun sempat koma. Setelahnya, ia tidak bisa mengingat kami semua. Dokter mengatakan bahwa ia kehilangan memorinya dan terjadi gangguan otak yang menyebabkan perubahan pada perilakunya.”

Sooyi ikut bangkit mendekati Mirae. “Apa ada cara untuk menyembuhkan Pak Jimin, Bu?”

“Ada. Namanya praktik memori. Praktik ini memanfaatkan situasi yang baru untuk bersandiwara memerani peran-peran lama sebelum memorinya hilang.” Sooyi menyatukan kedua alisnya, tidak mengerti dengan penjelasan Mirae.

“Singkatnya, kita bermain peran mengulang kejadian masa lalu Jimin. Situasi saat dulu Jimin kecil, sebelum ia kehilangan memorinya agar ia bisa mengingat ulang dan perlahan memorinya kembali.” Sooyi melangkah berada di samping Mirae.

“Bagaimana caranya, Bu?” Tanyanya.

“Sooyi... kehadiranmu di sini bukan tanpa alasan. Sejak awal bertemu, aku tahu hatimu sangat bersih dan baik sekali. Aku membutuhkan bantuanmu. Apa kau bersedia membantu?” Mirae mengubah posisi menghadap Sooyi.

Sooyi terlihat berpikir dan sangat bimbang, “Apa yang bisa saya lakukan?”

Tangan kanan Mirae terangkat mengusap lembut kepala Sooyi. “Itu mudah sekali, kau hanya perlu berperan sebagai ibu.”

“Kau hanya perlu berperan sebagai aku.” Mirae tersenyum hangat. Sooyi jadi merindukan ibunya yang tidak tahu di mana keberadaannya sejak ibunya menikah lagi lalu meninggalkannya.

“Apa itu artinya akan ada anak kecil seperti Pak Jimin?” Tanya Sooyi.

Mirae mengangguk. “Tapi mencari anak kecil yang seperti Jimin kecil sangat susah.... jadi aku berpikir untuk mendapatkannya secara alami. Jimin akan punya anak asli.”

“M-maksud anda---, ”

“Benar. Anak itu adalah anakmu dan Jimin.” Sooyi membelalakan matanya dan membuka mulutnya.

Mirae menatap sendu Sooyi dan mengubah posisi tangannya menggenggam kedua tangan Sooyi. “Kumohon, Sooyi. Bantu Jimin.”

Sooyi meneguk air liurnya panik dan bingung. “T-tapi kami tidak saling mencintai, Bu. Bagaiman---,”

“Cinta hanya butuh waktu dan kehadiran, Sooyi. Aku tahu sifat Jimin sedari kecil, hatinya yang murni mudah sekali mencintai orang lain dan aku butuh bantuanmu.” Ibu jari Mirae mengusap lembut permukaan punggung tangan Sooyi berusaha meyakinkan.

“Jika kau berpikir pernikahan ini semacam pernikahan kontrak maka kau salah. Karena aku ingin anakku bahagia bersama keluarganya. Akan kuusahakan pernikahan kalian tidak berakhir, hm? Kumohon Sooyi, hanya kau harapanku. Aku begitu putus asa selama bertahun-tahun ini.”

Tatapan Mirae nyatanya tidak hanya meluluhkan Jimin, namun Sooyi juga. Ia melihat kesenduan dan keputusasaan di mata Mirae. Ia melihat ketulusan apalagi setelah buliran bening lolos dari mata menawan Mirae.

“S-saya.. saya...” Sooyi meneguk air liurnya ia tidak tahu keputusannya ini sudah benar atau belum. “Saya akan mencoba membantu.” Jawaban Sooyi berhasil membawa tubuh kecilnya berada dalam pelukan hangat Mirae.

“Terima kasih, Sooyi. Aku tahu hatimu seperti malaikat.”

Mirae mengusap air matanya di balik punggung Sooyi. Untung saja Sooyi tidak tahu bahwa Mirae mantan pemain drama. Walaupun sebagai pemeran pendukung, namun ia punya keahlian di bidang itu.

GENERATION [P.Jm] -DISCONTINUE-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang