“Tentu saja.”jawabnya. Dia kembali mengambil sebelah tanganku dan membawanya ke pipi. Matanya terpejam. Kadang-kadang aku merasa iri melihat bulu matanya yang begitu panjang. Mestinya bulu mata yang seperti itu jauh lebih bagus tertempel di mata seorang wanita kan? Siapa aku, protes pada Sang Maha Pencipta?
“Ganteng ya?”ucapnya seperti tahu kalau aku sedang mengamati wajahnya padahal dia sama sekali tidak membuka matanya.
“Uh..GR.”celaku tapi sambil tersenyum. Aku juga tidak menarik tanganku dari genggamannya. Selama ini aku hampir tidak pernah selekat ini memandang wajahnya.
“Bang..”
“Hemm..”
“Abang nggak serius kan mengusulkan kita tinggal berpisah dari mama?”tanyaku. Aku benar-benar cemas kalau Haikal sampai menganggap ini adalah solusi terbaik. Haikal terdiam agak lama sebelum menjawab.
“Hanya kalau itu adalah solusi satu-satunya.”jawabnya dan dia seperti sengaja memberi jeda sebelum dia berucap lagi.”Kalau kamu mau, mungkin kita bisa konsultasi ke psikolog untuk minta saran.”
“Ah..masak sampai segitunya sih?”elakku segera setelah Haikal menuntaskan kalimatnya. Aku bukannya ngeri konsultasi dengan psikolog tapi aku masih merasa ada solusi yang lain. Tepatnya, berharap ada solusi lain yang lebih bersifat selfhelp.
Haikal membuka matanya dan kembali menatapku dengan intens.
“Tiga minggu sayang. Kamu terus-terusan merasa gelisah duduk di meja makan atau di ruang tengah saat kita semua berkumpul. Kamu nggak capek ngerasainnya?”tanya Haikal serius. Ya ampun, dia memperhatikan semua ini? Itu berarti dia sudah sadar sejak awal pernikahan kami? Aku merasa malu entah untuk apa.
“Aku maunya kamu sehat lahir batin ketika saatnya Allah mengamanahkan anak pada kita. Kita harus segera menemukan solusinya sayang. Kamu nggak pengen menyiksa anak kita dengan aliran adrenalin yang terus menerus kan? Allah bisa kapan saja menghadirkan dia di rahimmu. Bahkan bisa jadi saat ini dia sudah ada di sana.”bisiknya perlahan. Haikal mengusap perutku lembut. Aku terkesiap. Aku bahkan sama sekali tidak terpikir kalau saat ini mungkin saja aku sudah mulai mengandung. Kami menikah dan memulai berhubungan saat aku selesai haid sekitar satu minggu. Itu bisa saja masa suburku.
Haikal mengusap pipiku yang terasa pias. Aku berharap aku tidak pingsan saat ini. Apa yang disampaikannya benar-benar membuatku terkejut setengah mati. Dia berpikir jauh lebih komprehensip dibanding pemikiranku. Seharusnya aku pantas bersyukur. Dia memikirkan kesejahteraan anak yang bahkan belum aku sadari keberadaannya.
Aku mengusap perutku perlahan. Tanganku bertemu dengan tangannya yang masih bertengger di perutku. Menghadirkan rasa hangat yang sejak beberapa saat lalu menghilang. Saat aku mendadak merasa kedinginan mengkuatirkan betapa jahatnya aku karena sudah menyiksa anakku sendiri. Rasanya aku hampir menangis saat ini. Hidungku terasa pepat dan mataku benar-benar terasa panas. Tinggal menunggu waktu untuk jebolnya bendungan air mataku.
“Sshh..”
Haikal menenangkanku dan memelukku erat. Aku benar-benar merasa udara Sindoro begitu dingin. Biasanya memang dingin tapi tak sedingin ini. Aku menggigil tapi berusaha diam tak bergerak di pelukan Haikal dan aku tahu bahwa hatiku sudah memutuskan. Aku lebih baik mengikuti anjuran Haikal untuk bertemu psikolog. Aku bertekad menghadirkan rasa nyaman pada anakku bahkan ketika gengsi atau rasa maluku harus kukesampingkan. Rasa malu karena merasa begitu terintimidasi pada suamiku sendiri saat kami sedang berada di tengah keluarga suami. Rasa malu karena membeberkan keburukan hubungan kami di masa lalu. Itu sangat memalukan bukan?