Lian : Pindahan rumah.
Hari ini kami pindahan ke rumah yang dicicil Haikal sejak beberapa tahun yang lalu. Rumah mungil berukuran 8 x 11 meter dibangun di atas karas berukuran hampir 200 meter persegi.
Ini merupakan sebuah kemenangan kecil bagi diriku sendiri. Menang atas ketakutanku untuk jauh dari mama sekaligus menang karena berhasil menghilangkan ketegangan ketika berkumpul bersama keluarga. Aku membuktikannya berkali-kali dan puncaknya terjadi ketika Vika pulang.
Saat itu Vika pulang menjelang pernikahan Seza dengan Pandu. Dia di rumah selama dua minggu. Selama itu pula aku berhasil meyakinkan diri sendiri bahwa aku tidak lagi merasa gelisah dan cemas saat berkumpul bersama seluruh anggota keluarga.
Mama yang pertama kali menyadari hal itu. Mama begitu takjub ketika melihatku tidak lagi bereaksi negatif seperti awal-awal pernikahan. Haikal masuk ketika aku, mama, dan Vika sedang mendengarkan celoteh Asya tentang lucunya salah seorang teman sekelasnya.
Haikal yang baru datang dari kantor langsung ikut duduk di sampingku. Menanyakan kabar pada kandunganku kemudian ikut duduk mendengarkan cerita Asya. Tangannya tetap menggenggam tanganku sambil mengusap-usap perlahan. Sesekali dia juga tersenyum kecil mendengar cerita Asya yangbenar-benar lucu.
Aku sadar mama melihatku cukup intens selama beberapa saat. Konon, saat itu mama merasa dejavu. Seperti pernah merasakan moment yang sama berbulan-bulan yang lalu. Aku baru sadar justru karena mama kemudian bertanya.
“Lian baik-baik saja?”tanya mama tiba-tiba. Kami semua berhenti mengobrol dan sama-sama melihat ke mama.”Lian tidak lagi merasa cemas atau gelisah?”tanya mama lagi sambil melirik Haikal.
Haikal yang tersadar dengan pertanyaan mama juga jadi memperhatikanku lekat-lekat. Aku masih tersenyum dan memang tidak lagi mendapati reaksi itu. Aku benar-benar merasakan tidak ada perbedaan yang berarti dalam hal kenyamanan sebelum dan sesudah ada Haikal. Usapannya di tanganku justru mendatangkan sensasi rasa tenang yang seperti biasa kurasakan saat kami berdua.
Siang itu, kami semua merasa seperti terbebas dari sebuah mimpi buruk. Ini benar-benar prestasi yang patut dibanggakan. Mama bereaksi dengan memelukku erat-erat. Seolah-olah mama sendirilah yang telah mengakibatkan hal buruk itu terjadi padaku. Beliau meneteskan air mata haru saat merangkulku dan Haikal bersamaan. Beliau terlihat begitu lega.
Beberapa minggu kemudian mama berbicara secara khusus. Mama mendorongku untuk berani memulai pindah ke rumah Haikal. Mendorongku untuk berani lebih mandiri menata rumah tangga. Bagaimanapun juga aku seorang istri sekarang. Calon ibu pula.
“Tapi ma..bukannya abang..eumh..punya kewajiban untuk tetap berbakti pada mama dan ayah ya?”tanyaku ragu. Berbulan-bulan lalu aku pernah menolak mentah-mentah usulan Haikal untuk pindah rumah. Aku menolak karena pindah rumah dalam konteks yang waktu itu adalah untuk mendapatkan ketenangan terkait penyakitku. Tentu saja aku menolak, itu sama saja seperti melarikan diri dari permasalahan. Namun kini, masalah itu sudah terselesaikan. Aku tidak lagi mendapatkan masalah apapun terkait kenyamanan dalam kebersamaan. Aku sudah tidak pernah lagi kuatir Haikal akan berlaku sinis atau kasar saat kami sedang bersama orang lain. Aku sepenuhnya percaya bahwa Haikal tulus menyayangiku. Kalaupun sekali waktu dia iseng atau jahil, semua itu dalam rangka bercanda dan tetap saja dengan penuh kasih sayang.
Alasan lainku ya itu tadi, setahuku, sebagai anak laki-laki Haikal berkewajiban untuk memberikan ketaatannya pada kedua orang tuanya selamanya.
“Tentu.“jawab mama.”Haikal memang punya tanggung jawab untuk terus berbakti pada mama dan ayah, tapi bukan berarti Haikal tidak punya hak untuk mengelola keluarganya sendiri dong. Mama dan ayah justru akan lebih bahagia kalau ternyata anak laki-laki yang mama dan ayah didik telah bertumbuh jadi seorang laki-laki yang bertanggung jawab.”sambung mama.
“Jadi?”
“Ya...mama akan lebih bangga dan bahagia kalau anak-anak mama memulai melangkah menata masa depan.”
Itu hanya kata-kata singkat. Namun maknanya demikian dalam untuk kami berdua. Kami memiliki pemahaman yang utuh mengenai bagaimana kedua orang tua kami memandang kami. Kesadaran justru datang setelah kami akhirnya melakukan perenungan yang lebih mendalam.
Kami merasa lebih utuh ketika berdua. Merasa lebih kokoh ketika mengambil keputusan berdua. Lebih lengkap karena saling membutuhkan satu sama lain. Bukan berarti Haikal kehilangan otoritas sebagai laki-laki, tapi dia merasa lebih aman ketika aku berada di sampingnya untuk mengambil keputusan bersama-sama.
Aku tertawa ketika melihat ungkapan itu di twitternya. Tidak yakin kalau kata-kata itu bisa muncul dari Haikal. Sosok yang selama bertahun-tahun ini justru terasa membuatku tak pernah merasa sebagai orang yang berharga di matanya. Ironis.
TBC