Lian : Dia memang spesial
“Abang..!”teriak Asya sambil cemberut dan berupaya merebut kembali bola basket yang kini sedang dikuasai Haikal. Mereka sudah bermain sejak habis subuh tadi. Haikal tertawa dan melakukan shooting. Bola bersarang ke ring. Haikal mencetak angka lagi. Asya cemberut.
Aku duduk tenang bersandar di kursi sambil membaca novel yang sudah menjadi koleksiku sejak sebulan lalu tapi belum sempat dibaca. Sejak resmi mendapat gaji dari kantor mama dan dapat uang saku dari Haikal, aku merasa sah-sah saja kalau membelanjakan sebagiannya untuk belanja buku. Sayangnya, euforia ini tidak diimbangi manajemen waktu yang baik. Akibatnya sekali belanja buku ternyata belum juga kelar dibaca sampai hampir 2 bulan.
Sesekali derai tawa mereka terdengar. Beberapa kali mereka bertabrakan dan kembali rebutan bola. Beberapa kali mereka sampai harus bergulingan ketika saling memperebutkan bola. Konyol. Aku duga beberapa lecet atau memar akan muncul lagi di lengan keduanya.
Mama dan ayah masih jalan santai di seputar komplek. Biasanya beliau akan pulang sekitar jam 06.30. Ini sudah menjadi agenda rutin beliau berdua sejak beberapa bulan yang lalu. Jalan kaki sekitar 30 menit per hari tapi khusus hari minggu durasi akan lebih memanjang. Banyak tetangga yang juga melakukan kegiatan sejenis sehingga akhirnya malah jadi mirip sarana sosialisasi intra kampung.
Aku dan Mbok Harini sudah selesai menyiapkan makan pagi. Hanya memasak nasi, goreng ikan layur dan tempe karena mama lagi kepengen menikmati urapan. Beliau akan membawa urapan beli jadi seusai jalan-jalan. Menu sederhana tapi dijamin nikmat dengan tetap mengutamakan slogan : Apapun lauknya, harus ada sayur hijaunya.
“Sudah..sudah...abang nyerah lah..nggak kuat lagi..hh..hh..”ujar Haikal sambil mendekat ke arahku. Dia melakukan gerakan melingkar dan sekilas mencium pipiku sebelum kemudian duduk di kursi sebelah. Aku tahu gerakan melingkarnya tadi untuk menyembunyikan kelakuannya dari Asya tapi tak urung membuatku tersipu juga. Aku yakin Asya memang tidak melihat kelakuan abangnya.
Buktinya Asya sedang tertawa menang di kejauhan sambil melakukan gerakan victory. “Aku menang..aku menang..hore..hore..hore…hore..”teriaknya sambil berlari menuju kamar kecil di samping dapur. Dia kelihatan riang sekali padahal aku tahu kalau sebenarnya Haikal hanya bermaksud mengalah. Dia bisa bermain lebih lama lagi jika lawan Firki tetangga sebelah.
Haikal mengangkat sebelah kakinya ke atas sandaran kursi. Kepalanya disandarkan ke kursiku. Aku heran, dengan penampilan kaos penuh keringat begini kenapa aroma campuran sabun mandi dan samar-samar parfum eternity nya tidak terkontaminasi bau keringat ya? Atau karena keringatnya belum terfermentasi ya? Emang ada gitu rumus keringat terkontaminasi?, pikirku sambil geli sendiri.
“Kenapa senyum-senyum?”tanya Haikal sambil menerima juice jeruk yang kusodorkan. Tanpa es. Haikal tidak pernah suka minum dengan tambahan es. Air putih sekalipun.
“Mumpung senyum masih gratis.”jawabku.
“Memang ada rencana senyum bakal kena pajak gitu?”
“Nggak tahu juga ya, cuman aku kan lebih suka kalau dapat yang gratis-gratis gitu.”
“Pantesan nggak mau keluar modal buat ngecengin calon suami dulu. Ternyata sukanya yang gratis melulu.”
“Nggak keluar modal gimana nih maksudnya?”rengutku.
“Di mana-mana, para gadis biasanya melakukan tips n triks untuk mencari perhatian lho?”ujarnya kalem.