Beberapa berkas yang kuyakini merupakan laporan bulanan dari beberapa divisi terlihat menumpuk di mejaku ketika aku datang pagi ini. Laporan dari mbak Rina dan Kak Linda juga diletakkan di mejaku. Aku curiga jangan-jangan ada yang teledor meletakkan semua berkas ini. Akhir bulan begini biasanya laporan-laporan ini menumpuk di meja mama. Laporan bulananku sendiri belum selesai kubuat.
Aku masih berdiri mengamati sampul dari beberapa jilid laporan ketika kudengar suara sepatu mendekat. Suaranya terdengar nyaring karena belum banyak suara lain. Masih pagi, belum banyak yang datang.
“Dek, rencananya mau meeting akhir bulan jam berapa ya?”tanya mbak Rini ketika menghampiri mejaku.”Ntar aku beritahukan pada yang lain.”sambungnya. Dia terlihat segar dengan rok lebar warna putih dan atasan warna orange. Kalung emas tipis melingkar manis di lehernya. Rambutnya dicepol kecil dengan tusuk berwarna coklat. Parasnya terlihat cerah. Senyumnya yang manis tersungging di bibir seperti biasa.
“Mbak tanya mama langsung aja mbak. Aku tadi belum sempat bicara sama mama tentang meeting je. Tadi pagi mama udah berangkat duluan.”jawabku sambil menyerahkan tumpukan laporan kepadanya.”Ini mas Bejo kelupaan naruh di meja mama ya?”tanyaku sambil menunjuk ke arah laporan. Mbak Rini tersenyum.
“Bukan mas Bejo. Aku kok yang naruh kemarin sore. Bu Aya yang minta begitu.”kata mbak Rini sambil meletakkan kembali tumpukan laporan ke mejaku. Dia juga membenahi letak tempat pensilku yang terguling saat aku mengangkat tumpukan laporan tadi. Klip dan penghapus yang tercecer dikumpulkan di mangkuk kecil souvenir pernikahan salah seorang kerabat.
“Lho? Kenapa mama minta ditaruh di aku mbak? Sori..mungkin karena aku yang belum selesai bikin laporan ya?”ujarku malu-malu. Ada sekitar 5 event yang belum selesai kubuat laporannya.
Mbak Rini kembali tersenyum.
“Pastinya..Laporanmu kan memang bakalan belum kelar sebelum kau resume semua laporan kami.”
“Maksud mbak?”
“Bu Aya minta kamu handle ini semua kan? Kata beliau ini usulanmu sendiri waktu beliau kebingungan cari pengganti teh Tita. Beliau yang akan pegang langsung SWI sementara usaha yang lain dipimpin manajer khusus.”ujar mbak Rini.
Aku ingat kejadian beberapa bulan lalu ketika aku baru saja pulang dari Cilacap. Saat itu usulanku adalah..
“Eh mbak, tapi aku pikir waktu itu..mbak Rini atau kak Linda yang akan ditunjuk mama mbak. Ah, padahal mama nggak bilang apa-apa kok sama aku. Lagipula, itu juga udah berbulan-bulan yang lalu kan? Sebelum Ramadhan kan? Aku pikir selama ini kita udah baik-baik aja jalan seperti biasa.”sanggahku. Mbak Rini kembali tersenyum.
“Memangnya selama ini semua baik-baik saja karena apa? Kan karena kamu yang selesaikan semua pekerjaan mama. Cuma laporan aja kan yang belum? Kalau memang Lian keberatan bikin laporan, aku aja yang bikin ntar Lian tinggal tanda tangan approval setelah diperiksa. Kayak Bu Aya biasanya. Gimana?”tawar mbak Rini lagi.
Lho? Aku benar-benar linglung. Perasaan mama nggak pernah bilang apa-apa mengenai ini kan? Masak sih manajer khusus yang dimaksudkan mama adalah aku? Kan mbak Rini atau Kak Linda lebih mumpuni?
“Kalau kamu udah siap, daftar gaji karyawan juga udah nunggu untuk disetujui. Ada beberapa yang bulan ini dapat insentive lebih banyak dari biasa. Proyek-proyeknya Pak Pandu, Bu Kania dan Bu Rinda bulan ini jauh lebih banyak menyumbangkan cashflow. Aku pikir, manuvermu di proyek kementerian itu layak banget jadi SPO rutin semua tim. Kalau inhouse trainingnya dilakukan, pasti semua tim bisa berkinerja sebaik tim Seza yang sudah kamu supervisi. Ya kan?”ujar mbak Rini lagi. Memastikan aku siap untuk menempati pos yang biasa ditangani mama.