Yth. All Readers,
dengan ini tuntas sudah Redefinisi 1 & 2 ya.. Naskah ini sedang dalam pertimbangan untuk dicetak menjadi buku. Bagaimana menurut anda? Bagi yang berkenan untuk memberikan endorsement spesial silahkan ke inbox saya ya..makasih..matur nuwun..
Saya juga sangat mengharapkan masukan mengenai naskah-naskah saya yang lain..
love U..
EPILOG
Haikal : Redefinisi
Aku merasa miskin sekaligus merasa kaya. Sejak ayah memintaku menyerahkan rekening tabunganku sebagai mahar untuk Lian aku benar-benar tidak lagi punya tabungan. Aku hanya memiliki gajiku sendiri dan itupun masih kusisihkan untuk uang saku Lian. Kami menyebutnya uang saku karena Lian pun hampir tidak menggunakannya untuk keperluan rumah tangga.
Hidup kami sehari-hari masih bersama dengan orang tua. Bukannya tidak ada keinginan untuk mandiri, tapi aku ingat Lian pernah menolak mentah-mentah pindah dari rumah. Dia masih merasa nyaman bersama-sama dengan mama. Hingga suatu saat mama menasihatinya untuk mulai mandiri.
Saat itulah aku baru bisa utuh menjadi partner Lian dalam rumah tangga kami. Lian membuatku merasa…lengkap. Merasa memiliki apapun yang dibutuhkan seorang pria. Merasa kaya.
Ini sebuah pendefinisan ulang dari keseluruhan hidupku yang sudah lalu. Definisi Lian bagiku bukan lagi sosok adik angkat yang terpaksa harus kusayangi. Dia kelihatan terharu ketika aku katakan bahwa aku merasa lengkap jika ada Lian di sampingku. Dia berusaha tertawa tapi aku tahu betul dia sedang bersyukur. Tidak ada yang tidak kelihatan dari matanya. Matanya selalu bisa menggambarkan apa yang sedang dirasakannya.
Lian : Redefinisi
Mentorku sudah bolak-balik menelepon tapi aku masih juga belum menyelesaikan tulisanku. Ada saja yang masih ingin kutuliskan. Tumpukan catatan harianku juga sudah semakin lecek karena dibaca berulang kali selama 5 bulan terakhir. Begitu juga dengan catatan harian milik Vika dan Haikal. Aku berhasil meyakinkan mereka untuk meminjamkan catatan harian mereka sebagai sumber inspirasiku menulis.
Aku juga janji sebelum tulisanku dipublikasi, aku akan mengijinkan mereka untuk membaca terlebih dahulu. Tulisan sepanjang 200 halaman kuarto dengan format 4-4-3-3 dengan fontasi 12 sesuai pesan penerbit. Sebagian besar merupakan contekan dari buku harian kami bertiga.
Beberapa kali kulirik Haikal memencet tombol page up dan page down dari keyboard di komputer. Aku tidak yakin dia membaca dengan cermat tulisanku. Normalnya butuh waktu hampir 3 jam untuk membaca naskah sepanjang hampir 200 halaman itu.
“Yakin tulisan ini bakal dipublikasi Bun?”tanya Haikal tiba-tiba. Matanya masih menatap layar monitor di depannya. Tangan kanannya beberapa kali menyentuh mouse dan tombol tanda panah.
Aku menengok ke arahnya sambil membenahi letak kancing bajuku. Kancing teratas ternyata masuk ke lubang kancing kedua, dan kancing kedua masuk lubang ketiga dan seterusnya. Setengah geli setengah kesal, aku terpaksa mengulangi kembali prosesnya dari awal. Sejenak kemudian aku melangkah ke arahnya.
“Memangnya kenapa? Nggak yakin penerbit akan menerima?”tanyaku. Haikal menggeleng.
“Nggak juga...cuman..emang Bunda nggak risih ya menceritakan kisah sendiri di depan orang lain gini? Memang nggak semua persis sih..tapi di beberapa bagian kan memang bener-bener kejadian.”ujarnya lagi. Kali ini sambil melihat ke arahku. Mengambil alih buntelan berselimut yang baru saja kususui beberapa saat tadi. Anak pertama kami yang lahir hampir sebulan yang lalu. Ayahnya memberi nama Firdaus Mumtaz Dewantara.