Pagi ini, Rana sudah siap berangkat ke sekolah. Badan mungilnya itu kini sudah berseragam putih abu-abu, dan menggendong tas pink berbulu yang hampir mirip dengan ransel anak-anak TK. Tadi malam, Rana tidur nyenyak karena lampunya tidak lagi mati dan dia bisa tidur dengan tenang tanpa kegelisahan. Rana penakut, kata Ragas. Tapi itu memang fakta.
Rana menggunakan kaos kaki dan sepatunya dengan cepat, lalu segera bergegas akan berangkat ke sekolah. Ia membuka pintu kamar kosnya, lalu cepat-cepat menguncinya lagi. Ketika ia membalikkan badan, dilihatnya pintu kamar Ragas lama-lama. Menebak-nebak apa yang dilakukan cowok itu di dalam sana. Ada suara kecil aneh yang Rana duga berasal dari ruangan menyeramkan itu. Kamar Ragas. Karena penasaran dan jiwa jailnya keluar, Rana pun mendekat ke pintu kamar kos Ragas, dan menempelkan telinganya disana. Didengarnya dengan seksama apa yang tengah Ragas lakukan.
Bug!
Dahi Rana mengernyit, suara itu seperti ada yang memukul sesuatu. Ditempelkan lagi telinganya dan didengarkan lagi lebih seksama.
Cklek.
Jdak!
"Aaaah!" Teriak Rana kaget karena pintu yang sedang dimata-matainya itu kini terbuka. Tubuhnya terdorong kedalam kamar Ragas, dan dahinya menyentuh tubuh Ragas yang sedang berdiri tegap disana. Dengan gerakan cepat, Rana kembali berdiri tegak. "Ma-maaf." Lalu membungkukan badannya seperti orang china ketika bertemu sapa dengan orang."Lo ngapain sih?!"
"A-aku denger suara aneh dari kamarmu. Kamu gebukin apa?"
Ragas mendengus. "Gue olahraga. Gebukin samsak. Lo kira gue gebukin apa?"
"O-oh." Kata Rana gemetaran. Ia tahu Ragas akan marah karena terganggu. Ia juga tahu betul watak si tetangganya ini. Kasar. Cuma itu yang bisa tergambar meskipun tadi malam dia bersikap sedikit hangat.
"Kemarin malem kurang cukup?" Kata Ragas. Rana mengernyit. Tidak paham dengan perkataan Ragas. "Gue tanya!"
Rana menggigit bibir bawahnya, dengan tujuan menahan air matanya yang hampir ingin jatuh karena dibentak. 'Jangan nangis didepan dia, Rana. Jangan nangis.'
Ragas tidak peduli dengan wajah cewek itu. Dia mau menangis atau tidak, dia tidak suka bila kehidupannya diganggu. Contohnya, pagi ini. "Gue udah bersikap baik sama lo tadi malem, gue udah bantu lo. Gue kasian sama lo. Tapi, bukan berarti lo bisa seenaknya pengen tau apapun tentang gue."
Rana diam sebentar. Sambil sesekali menunduk. "Aku kira kamu nggebukin mukamu sendiri."
Walau celetukannya tersebut membuat Ragas ingin tertawa, tetap saja. Itu tak membuat kadar marahnya turun. Ragas berusaha bersikap acuh, kemudian menutup pintu kamarnya keras-keras.
Rana diam sambil kebingungan. Tentu saja, masih menahan tangis. "Ih, kasar."
Cklek.
Pintu Ragas terbuka lagi."Apa lo bilang?"
Rana melirik, "Bukan berarti kamu bisa seenaknya pengen tau apapun tentang aku." Tukas Rana, mengulangi perkataan Ragas beberapa menit yang lalu. "Adil kan?" Kata Rana sambil tersenyum ceria kepada Ragas.
'Eh? Cewek ini udah gila ya?' batin Ragas dalam hati. Dengan perlakuannya tadi, masih saja Rana bisa menyuguhkan senyum selebar itu. Bagaimana bisa? "Lo udah gila ya?"
"Kepo, ah. Sekolah dulu, biar pinter jadi dokter." Lalu meninggalkan Ragas mematung sambil kebingungan.
Ragas menutup pintu kamarnya, tidak keras. Lalu tersenyum.
***
"Rana!" Panggil seorang wanita ketika Rana berjalan di koridor sekolah.
Merasa namanya dipanggil, Rana kemudian membalikkan badan. "Milaaa!" Dipeluknya wanita itu erat-erat. "Hey, kita kenapa pelukan? Kan nggak ketemu 2 hari doang. Sabtu sama Minggu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Armorial
Romance"Lo... nangis gara-gara tetanggaan kos sama cowok?" Tanya Ragas dengan nada kelewat pelan. "Kalau gitu gue bisa minta pindah ke..." Pada saat itulah, gadis lucu bernama Rana bertemu dengan cowok dingin seperti es batu dan segala perlakuannya. Berjua...