Chapter 3

107 15 0
                                    

Maaf ya lanjutnya lama, semoga masih ada yang mau baca. :3

.

.

Author POV

BRAKKK!

Nissya menggebrak keras meja di hadapannya sehingga memancing perhatian dari beberapa pengunjung lain. Wajahnya makin memerah. Namun, sedetik kemudian, tepat ketika seorang lelaki bertubuh tinggi datang menghampiri meja kami, Nissya bagaikan iblis yang tiba-tiba tersihir menjadi malaikat. Amarahnya seolah runtuh dan bermetamorfosis menjadi tetes air mata. Dia berhambur ke pelukan lelaki itu.

"Lo kenapa, Nis?" tanya lelaki itu sambil mengelus lembut punggung Nissya. Dan Nissya pun mulai bercerita pada Satria. Ya, laki-laki itu adalah Satria. Nissya nampak seperti anak kecil yang mengadu pada kakaknya. Aura manjanya sungguh terlihat. Dia tidak tampak seperti Nissya yang tomboy dan ditakuti banyak orang.

Kurang lebih 15 menit menangis dalam pelukan Satria, Nissya kini sudah lebih tenang. Entah mantra apa yang telah Satria berikan sehingga Nissya kembali seperti tadi sebelum bertemu anak kelas XI yang--em, maaf--kurang ajar itu. Bukannya membela Nissya karena dia teman seangkatan Vida, bukan. Tapi, memang menurut Vida pribadi adik kelas tadi termasuk kurang ajar. Dia tiba-tiba mengata-ngatai kakak kelasnya sendiri. Ini bukan pertama kalinya Vida melihat kejadian "menyedihkan" seperti ini. Di sekolahnya seperti sudah biasa seorang junior bersikap tidak sopan kepada yang lebih tua. Entah kemana tata krama anak jaman sekarang.

"Udah jam 3 nih, ayo berangkat, nanti kita telat, lho," kata Tiara sambil meletakkan gelas orange juicenya yang sudah kandas. "Gue duluan, ya."

"Lah, itu anak kabur gitu aja, ckckck," Satria berdecak sambil tersenyum jenaka. "Ehm, kalian udah pada bawa kendaraan kan?"

Siska mengangguk. "Gue bareng sama Vida."

"Oh, nama lo Vida," ucap Satria sambil mengangguk-ngangguk. Dia tersenyum lagi. Tapi kali ini sebuah senyum perkenalan yang membuat Vida melayang melihatnya. Manis sekali.

"Gue bareng lo, ya, Sat," kata Nissya sambil menggendong tasnya. "Ayo berangkat!"

Sepertinya, Satria memang kelewat ramah. Disaat sang sahabat tercinta--Nissya--sudah ngeloyor pergi, dia masih sempat-sempatnya melambaikan tangan kepada Vida dan Siska yang masih duduk di meja berbentuk lingkaran didalam Mezzo Cafe.

"Mau sampai kapan melamun? Mau berangkat sekarang nggak?" Siska menyadarkan Vida. 

"Eh, ng-iya, ayo." Vida tergagap. Akibat senyumnya tadi, membuatnya jadi gugup.

Ya ampun, setelah tadi sihir untuk membuat macan ngamuk tenang, sekarang sihir apalagi yang Satria gunakan? Sihir yang membuat si itik buruk rupa seperti Vida menjadi grogi, hm?

==

Vida POV

Guruku sore ini sedang membagikan lembar jawaban dan soal yang harus kami jawab. Ya, kami sedang berada di tempat bimbel dan hari ini ada try out. Mati sudah aku, sejak kemarin sama sekali belum belajar. Apalagi soal hari ini ada empat paket.

Empat paket.

Tempat duduk kami berurutan. Sehingga aku tidak mungkin bisa "bekerja sama" dengan teman-teman satu sekolahku. Aku mendapat paket satu, Tiara paket dua, Siska paket tiga, Nissya paket empat, dan...

Sebentar. Tadi dikatakan ada empat paket. Itu berarti setelah paket empat akan kembali ke...

"Vid, lo paket satu juga, kan?" Pertanyaan dari suara bariton itu membuatku menoleh ke sudut kanan kelas. Aku mengangguk. Dia tersenyum. "Oke, bantu gue, ya."

Bel berbunyi dan kami pun mulai mengerjakan soal-soal yang ada. Aku dan Satria menjadi banyak berbicara. Kami bahkan bertukar soal untuk mencocokkan jawaban satu dengan yang lain. Tanpa yang lain menyadari, aku menghirup dalam lembar soal milik Satria yang sedang kubawa.

Baunya sama saja, seperti kertas pada umumnya. Namun, aku--ya kalian taulah seorang Vida notabene adalah remaja yang berlebihan--membayangkan bahwa yang kuhirup adalah bau maskuli dari tubuh Satria.

Aku tidak berlama-lama melakukan hal bodoh itu. Waktu tinggal beberapa menit. Dengan kecepatan kilat aku menyelesaikan soal-soal mengerikan ini. Berharap nilai yang kudapat nanti setidaknya berada di atas rata-rata.

"Sat, nih," Aku menyerahkan lembar soal miliknya. Dia yang masih duduk, mendongak menatapku yang berdiri di depannya.

"Hahaha, jugaan sama aja, kenapa perlu ditukar, hm?" tanyanya. Mata elangnya menatap tepat ke manik mataku. Ya Tuhan, bisakah aku menatap mata itu lebih lama lagi... "Woi!"

Satria menyentakku ke alam nyata.

"Ng--ya, kembaliin aja sini!" tagihku.

"Ya kan sama aja," katanya masih dengan nada santai.

"Kem--"

"Oke oke, nih," ucapnya. Dia kembali tergelak. "Sama tau, Vida."

"Beda!" elakku. Padahal memang sama saja.

Aku lantas meninggalkan kelas. Nissya, Siska, dan Tiara sudah lebih dulu pergi. Aku tidak ingin menyusul mereka. Karena dipastikan wajahku saat ini pasti 11-12 dengan udang rebus. Tatapan mata Satria yang begitu menusuk saat mengembalikan lembar soalku tadi, entah mengapa membuatku merona. Ditambah lagi gelak tawa merdunya juga senyum semanis madu itu.

Andai saja aku adalah Diva...

Sayangnya, aku Vida...

==

TBC.

Maaf kalau ceritanya gaje. -_- Nggak tau kenapa nggak ada ide buat cerita ini. Abisnya di reality juga flat-flat aja. Jadi, terpaksa deh ngarang-ngarang dikit ceritanya. :3

Jangan lupa tinggalkan jejak, yaa! Thanks! :D

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 26, 2014 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Vida or Diva?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang