Part 5

63 10 3
                                    

Jyraat,,

Delapan.

Jyraat,,

Sembilan.

Jyraat,,

Sepuluh.

Hitunganku yang mencapai angka sepuluh sudah menjadi tanda berapa kali ikat pinggang tebal itu melayang menyentuh punggung adik.

Bukan!

Bukan aku yang melakukannya.

Aku hanya perlu duduk diam sembari menikmati tangisan dari korban ayahku.

Rasanya tak sia sia aku pulang ke rumah utama setelah melihat kekejaman ayah mencambuki Deren.

Jyraat,,

Enam belas..

Cambuk itu masih bergerak melayang, menguliti, menorehkan luka pada punggung polos tak bersalah.

Ayahku baru berhenti ketika rasa pegal mulai merambat pada tangan.

Tanpa perasaan kasihan, dia berjalan pergi meninggalkan Deren yang meringkuk menikmati luka sobek pada punggungnya. Tak lupa pria tua itu mengunci ruangan yang menjadi tempat penyiksaan.

Aku berdecak tak suka melihat perlakuan ayah.

Bagaimana bisa dia meninggalkan korban begitu saja?

Tidak bisakah dia mengambil
salah satu organ Deren dan membawakannya untukku?

Sebentar,

Tunggulah sebentar adik.

Biarkan rasa sakit dari luka yang diberikan ayah mereda, lalu akan kubuat kau bahagia tanpa merasakan luka yang sama itu lagi.

***

Tepat pada jam 01 malam, aku kembali. Tubuh kurus penuh luka adalah hal yang pertama kali kulihat ketika memasuki gudang.

"Kak..kakak"

Matanya menatap sayu melihatku berjalan mendekat.

Bibirnya membiru, tubuhnya pun ikut bergetar menggigil kedinginan.

"Maaf adik, aku tak bisa menolongmu tadi." ucapku membantunya duduk.

"Kenapa ayah melakukan ini padaku?"
"Jika saja ibu tidak menghilang, aku pasti takkan pernah merasakan sakit ini!"

Dia menangis,
bukan menangisi luka,
tapi duka.

"Kenapa tidak pergi bersama ibu saja?" ucapanku berhasil mengalihkan perhatiannya.

"Aku tak tahu. Ibu bahkan tak pernah memberitahuku kemana dia akan pergi."

Kuanggukkan kepala merasa benar benar memahami kesedihan Deren.

Seolah dirasuki roh jahat, bibirku perlahan mengembangkan senyuman. Kepala tak bergerak, namun bola mata milikku membesar melirik Deren penuh kegembiraan.

"Untuk apa menangisi seseorang yang sudah di makan oleh tanah?"

Tangisan Deren seketika berhenti. Ekspresi bingung pertama kali kutangkap dalam raut wajah polos itu ketika mendengar ucapanku.

Deren bergerak merangkak mundur. Tanda bahaya kini berbunyi nyaring dalam kepalanya.

Kutarik kakinya, mengangkatnya memutar sejenak dan tanpa aba aba menghantamkan tubuh itu ke tembok.

Darah segar mengalir dari pelipis Deren, dia meringis menatapku marah, tak percaya dengan apa yang kulakukan.

"Kau gila hah!" Suaranya meninggi walaupun aku bisa melihat sedikit ketakutan dari bibir yang bergetar hebat.

Am I a Psychopath?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang