Hello, perkenalkan namaku Pam.
Saat itu aku berusia 18 Tahun dan belum pernah berpacaran. Ya kau tahu kan, pada usia seperti ini, pacaran adalah hal yang menjadi sebuah keharusan. Terutama di lingkunganku. Entah harus merasa pesimis atau tidak, sejujurnya aku nyaman dengan kesendirianku.
Sejak kecil, aku selalu disekolahkan bersama kembaranku, Pan. Dia tumbuh menjadi pemuda yang pintar dan selalu di idam-idamkan para gadis. Berbeda denganku, yang ditakdirkan menjadi gadis pecundang dan tidak bisa berbaur. Bagaikan sebuah bayangan, aku hanyalah setitik hal tidak penting dan Pan yang menjadi pemeran utamanya.
Hari itu kami baru saja menyelesaikan pekan ospek . Pan mendapatkan banyak surat cinta dan coklat. Ya, ibu kembali memasukan kami ke dalam satu Universitas meski berbeda Fakultas. Pan memilih untuk menjadi mahasiswa Hukum dan aku memilih menjadi mahasiswi sastra Inggris.
Pan selalu menjadi sorotan, tak sulit untuknya mendapatkan teman. Berbeda denganku, orang yang tidak bisa basa-basi dan tak punya keahlian. Apa menariknya?
Aku memperhatikan Pan yang sedari tadi dikerubungi oleh para mahasiswi. Ku kira tragedi seperti itu hanya berlaku dan ada di film seri netflix dan drama korea.
Aku tertawa miris ke arah Pan sembari menyantap susu kental manis di bangku sudut lapangan. Kasihan sekali para gadis itu, coklat dan bunga itu tidak ada artinya bagi Pan. Mungkin akan berakhir di tempat sampah atau jika laki-laki itu sedang berbaik hati dia akan memberikannya padaku.
"Kamu tidak menyeduhnya?" Suara seorang gadis sontak mengagetkanku.
Dia seorang gadis dengan mata coklat. Ralat. Dia seorang gadis dengan softlens berwarna coklat. Rambutnya sebahu dan mengkilat dibiarkan terurai. Kulit mulusnya dibungkus dengan croptee berwarna merah marun.
"Itu." Tunjuknya pada susu kental manisku. "Kamu minum susu tanpa menyenduhnya?"
"Kamu berbicara denganku?"
"Cuma kamu orang yang duduk di sini. Nggak mungkin aku berbicara dengan orang lain. Aku nggak berkawan dengan makhluk astral."
Pertanyaanku memang terdengar sangat aneh. Itu kulontarkan karena aku masih tidak percaya gadis cantik seperti dia mau berbicara denganku.
"Oh, ini. Sudah jadi kebiasaanku. Mau?"
Ia menunjukan ekspresi jijik kepada susu kental manis sachet-ku."Kamu boleh menyimpan itu untuk dirimu sendiri."
Apa tindakanku salah?
"Kamu pasti Pamela, kembarannya Pandawa, kan?" Ia mencoba menebak.
Pan lagi. Selalu saja. Demi selai kacang campur stroberi! Ingin sekali rasanya orang-orang mengenaliku tanpa iming-iming kembaranku, Pan.
"Ya. Dan kamu?"
"Alina dari Fakultas Komunikasi. Broadcasting." Ia menjulurkan tangannya. "Aku harap kita bisa berteman, Pam."
Begitu katanya. Dia adalah teman pertamaku, Alina. Gadis cantik keturunan Minang-Sunda yang memiliki banyak penggemar sama seperti Pan. Dia begitu pintar dan juga menyenangkan. Semenjak berteman dengan Alina, aku tidak pernah merasa sendirian lagi.
Kadang, banyak kejanggalan yang terlintas dalam benakku. Aku terlalu naif untuk meyakini bahwa tidak ada kebusukan dalam pertemanan.
*****
Aku terjebak dalam sebuah kelas yang berisikan mahasiswa sastra. Kami dipaksa untuk memperkenalkan diri dan menyebutkan alasan kami masuk ke fakultas sastra. Sebenarnya bukan kami yang merasa dipaksa, mungkin hanya aku yang merasa terpaksa sehingga menggiring kosa kata 'dipaksa'. Mahasiswa lain terlihat baik-baik saja ketika mempresentasikan dirinya, bahkan mereka menjadikan momen ini sebagai ajang unjuk diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Pam!
Teen Fiction"Kalau memang jatuh cinta semudah itu, sudah ku lakukan sedari dulu." Sebuah kisah tentang Pam, gadis yang selalu menjadi bayangan dari kembar fraternal-nya, Pan. Pan tumbuh menjadi laki-laki yang banyak di kagumi oleh kaum hawa, sedangkan Pam menga...